Gua Batu Mawar. Dasar Jurang Senja. Udara di dalam gua itu lembap dan tenang. Aroma akar kering bercampur jamur hutan membaur dengan embusan udara lembut dari celah-celah tebing. Di tengah ruang batu yang seolah dipahat oleh waktu, tergeletak tubuh seorang pemuda. Napasnya berat, wajahnya pucat. Racun masih mengalir dalam nadinya, tapi tidak lagi mematikan.

Sang penyelamat, , duduk bersila di seberang tubuh Satria. Di hadapannya, tiga piringan batu datar memutar pelan di udara. Tiap piringan memancarkan cahaya samar: merah bata, hijau zamrud, dan biru laut.

“Racun ini… bunga Merpati Hitam. Bukan racun biasa. Hanya bisa dipadamkan dengan teknik pernapasan Ilmu Nafas Tulang Harum dan air rebusan akar jati langit,” gumam Eyang.

Dengan gerakan pelan dan presisi, ia meletakkan kedua telapak tangan di dada Satria. Aura putih keluar dari jari-jarinya, mengalir masuk ke tubuh pemuda itu. Suara denting lembut terdengar, seolah lonceng kuil bergaung dalam tubuh.

Tiba-tiba, Satria tersentak. Matanya terbuka, membelalak—menatap langit-langit gua batu dengan pandangan kosong.

“Aku… di mana ini?”

Kakek itu tersenyum. “Kau di tempat yang tidak kau cari, tapi kau butuhkan.”

Satria mencoba duduk, tubuhnya masih lemas.

“Kau menyelamatkanku?”

“Kau diselamatkan oleh takdirmu sendiri. Aku hanya membuka pintu. Yang masuk—itu pilihanmu.”

Satria menunduk. Napasnya tertahan. Ia mengingat wajah Sarah… senyum manis yang menyembunyikan racun… dan dua pria bertudung hitam yang membuangnya seperti sampah.

“Aku… dibuang. Oleh Ibu Tiriku.”

Kala Kembara menatapnya. “Kebencianmu akan menumbuhkan dua hal: kekuatan atau kehancuran. Tapi sebelum kau memutuskan, bertahanlah hidup.”

Tujuh Hari di Ambang Hidup. Hari-hari berikutnya berlalu dalam diam dan penderitaan. Racun tidak bisa disingkirkan dalam sekali pengobatan. Tubuh Satria menggigil, kadang kejang, kadang menangis dalam tidur.

Kala Kembara tidak hanya mengobatinya dengan ramuan dan tenaga dalam. Ia juga mendongengkan kisah-kisah pendekar:

Tentang yang membelah langit demi menyelamatkan desa.

Tentang yang tidak punya mata, tapi bisa membaca hati musuh.

Tentang , pendekar surgawi pertama yang bisa menyejukkan badai.

“Setiap pendekar dimulai dari luka. Tapi hanya mereka yang menerima lukanya—yang akan menjadi penyembuh dunia,” kata Eyang setiap malam.

Pada hari ketujuh, tubuh Satria mulai membaik. Ia sudah bisa berdiri meski tertatih. Wajahnya masih tirus, tapi matanya berubah. Lebih dalam. Lebih bersinar.

“Aku tak tahu siapa kau, Kek,” katanya. “Tapi aku ingin belajar. Apa pun… asal bisa berdiri kembali, lebih kuat dari siapa pun.”

Kala Kembara tersenyum. Senyum yang menyimpan sejarah panjang dari dunia persilatan yang nyaris hilang di tengah zaman digital dan beton kota.

“Kalau begitu, mulailah dari dasar.”

Ia mengambil tongkat panjang dari dinding gua, melemparkannya ke Satria.

“Namaku: Kala Kembara. Mantan Pendekar Langit Utama. Dan mulai hari ini… kau adalah muridku.”

Di luar gua, hujan masih turun. Tapi kali ini bukan gerimis duka. Hujan itu seperti genderang pembuka. Satria Wibawa baru saja melangkah ke jalan yang tak akan pernah bisa ia tinggalkan.

Bersambung ke Episode 3: Tujuh Hari dalam Kematian…