Gedung Widyawati Corp, Lantai 27, Pagi Hari. Lift berhenti dengan dentingan halus. Pintu terbuka ke ruangan mewah berlantai marmer putih susu. Deretan sekretaris muda berjas hitam membungkuk saat seorang gadis berambut panjang masuk dengan langkah santai, membawa kopi dua gelas dan sekotak bubur ayam dari kaki lima.

“Pagi, Bu Shinta,” sapa mereka.

Gadis itu hanya mengangguk. Wajahnya polos, tanpa make-up berlebihan, hanya bibir merah muda alami dan mata yang jernih. Ia memasuki ruangan kerja CEO—ruang dengan jendela setinggi langit yang menghadap kota.

Dia: Shinta Chantika. Usianya baru 26 tahun. Tapi ia adalah CEO dari , holding raksasa kosmetik, , dan lifestyle terbesar di Cendana.

Sementara itu…Di lobi bawah, Satria berdiri dengan ransel tua dan kemeja polos. Ia tak tampak seperti pelamar kerja. Lebih menyerupai pengunjung yang tersesat. Petugas keamanan nyaris menyuruhnya keluar… hingga sekretaris khusus Shinta turun menjemputnya.

?”

“Ya.”

“Bu Shinta menunggu Anda.”

Ruang CEO. Pertemuan Ulang. Satria masuk. Tak gugup. Tapi matanya waspada.

Shinta sedang membuka kotak bubur ayam. Ia menawarkannya santai. “Sarapan?”

Satria tersenyum kecil. “Belum. Tapi saya tidak menyangka CEO makan bubur di ruang kerja.”

Shinta menatapnya lurus. “Dan saya tak menyangka ada orang bisa melumpuhkan pencopet dengan satu gerakan dan tetap menyerahkan tas tanpa berharap viral.”

Satria menunduk. “Itu hanya kebiasaan.”

Shinta menyandarkan tubuhnya di kursi. “Aku butuh orang sepertimu. Widyawati Corp sering menerima ancaman. Aku CEO yang muda, perempuan, dan terlalu sering menolak suap. Banyak yang tak suka.”

Satria diam.

“Aku ingin kau jadi Kepala Keamanan Pribadiku. Sekaligus… bodyguard.”

Satria menatap mata Shinta. Serius. “Kenapa aku?”

“Karena kau tak butuh kekuasaan. Tapi kau punya kendali.”

Ia menyodorkan kontrak.

Tanpa banyak pikir, Satria menerima.

Dunia Baru. Bayangan Lama. Hari-hari Satria di Widyawati Corp dimulai. Ia bukan hanya pengawal. Ia juga menjadi pengamat. Ia memetakan seluruh jalur masuk gedung, kebiasaan staf, dan gerak-gerik mencurigakan. Ia hafal setiap CCTV, tahu siapa yang memalsukan absen, dan bisa membedakan suara langkah satu karyawan dengan yang lain.

Tapi di balik semua itu, ia diam-diam memperhatikan Sarah Widyawati, yang sesekali muncul di layar berita korporasi sebagai pendiri. Ia belum tahu: bahwa musuh besarnya… ada begitu dekat, di balik tembok kaca dan ruang direksi yang berkilau.

Warung Kaki Lima. Malam Hari. Sore itu, selepas rapat dengan divisi hukum, Shinta mengajak Satria makan di pinggiran kota. Di sebuah warung mie ayam legendaris yang terletak di bawah jembatan layang.

“Makananku sejak kuliah,” katanya. “Orang-orang pikir aku hidup dengan wine dan sushi. Padahal ini makanan paling jujur di kota ini.”
Satria tertawa kecil. “Kamu beda dari bayanganku tentang CEO.”

Shinta menatapnya. “Dan kamu beda dari semua laki-laki yang pernah aku temui.”

Hening sejenak.

“Kamu tahu…” kata Shinta perlahan, “Ibuku meninggal saat aku masih kecil. Ayahku hanya hadir di papan nama perusahaan. Dan kadang aku berpikir… aku ini hidup atau cuma bergerak?”

Satria tak menjawab. Tapi ia menatap Shinta dengan mata yang tak menghakimi. Dan di dalam hatinya, untuk pertama kali sejak bertahun-tahun, ia merasa… damai.

Di kejauhan, kamera pengintai tersembunyi menyorot mereka. Seorang pria bertubuh kekar mengamati dari balik mobil hitam. Ia berbicara di radio pendek:

“Target perempuan sedang bersama pria tak dikenal. Waspada. Pria ini bukan orang biasa.”

Dan malam itu, di warung kaki lima yang dikelilingi lampu jalan berkedip… dua takdir diam-diam saling bersilang. Shinta, gadis pasar yang menyembunyikan luka. Dan Satria, pendekar jurang yang belum membuka semua jurusnya.

tak lagi sekadar tempat. Ia mulai menjadi medan laga.

Bersambung ke Episode 9: Teror di Rapat Direksi…