Gedung Widyawati Corp. Ruang Rapat Utama, Lantai 28. Pagi itu tampak biasa. Cahaya matahari menyelinap lembut di balik tirai kaca buram ruang rapat yang luas. Di dalamnya, para direksi duduk melingkar di sekitar meja bundar marmer putih.

Shinta Chantika membuka laptopnya. Wajahnya tegas namun tetap anggun. Di sebelah pintu, berdiri tegak Satria Wibawa, mengenakan setelan hitam kasual dengan headset mikrofon kecil di telinga. Ia bukan sekadar pengawal. Ia adalah penjaga seluruh keseimbangan di ruang ini.

Di layar, presentasi tentang ekspansi butik organik ke tengah berlangsung. Namun suasana perlahan berubah ketika Direktur Logistik, seorang pria bernama , mengangkat tangan.

“Kita bicara ekspansi,” katanya dengan suara berat, “tapi internal kita sendiri belum stabil. Kita kehilangan gudang di Depok. Data dicuri. Dan hingga hari ini, tidak ada laporan keamanan.”

Shinta tak gentar. “Sudah dalam investigasi.”

“Terlalu lambat,” potong Reynaldo. “Perusahaan ini terlalu bergantung pada instingmu, Shinta. Bukan sistem.”

Suara di ruangan mulai gaduh. Beberapa direksi lain ikut menekan.

Satria mengamati. Tapi bukan hanya suara Reynaldo yang ia dengar—ia menangkap desis kecil di balik langit-langit. Nyaris seperti dengungan logam.

Ia menoleh pelan ke atas. Ada sesuatu di ventilasi. Bergerak cepat. Serangan Mendadak.

Tiba-tiba. Letupan kecil.

Sebuah tabung logam kecil dilempar dari lubang ventilasi, jatuh di tengah meja rapat. Sekejap kemudian: pssssshhhkkk!

Asap hitam menyembur ke seluruh ruangan.

Direksi berteriak. Beberapa jatuh dari kursi. Shinta menunduk sambil menutup hidung. Alarm keamanan tidak aktif—ini sabotase internal. Satria langsung bergerak.

Dengan satu hentakan kaki, ia melompat ke atas meja dan menendang tabung asap keluar ke jendela. Tapi dari balik tirai asap, muncul dua sosok bertopeng—berpakaian hitam, bergerak seperti bayangan.

Satria menoleh. Matanya menyipit. Mereka tidak sekadar perampok. Mereka menggunakan formasi silat: Jurus Pukulan Rantai!

Pertarungan dalam Kabut. Satria bergerak dengan Jejak Timur. Ia meluncur di antara meja dan kursi dengan presisi luar biasa. Lawan pertama mengayunkan tongkat pendek berujung logam. Satria menekuk badan, menangkis, dan membalas dengan teknik dasar “Ranting Meliuk” dari aliran Pendekar Bumi Madya.

Tangan lawan terkilir. Satria memutar tubuh dan menyapu kaki lawan kedua—namun orang itu melompat, ringan, seolah tak berbobot. Sebuah pisau lempar melesat ke arah Shinta.

Clakk!

Satria menangkapnya dengan dua jari. Suara tepuk tangan kecil terdengar dari balik pintu yang terbuka perlahan.

Masuklah sosok pria berjas putih, rambut disisir licin, tersenyum dingin. Di telinganya menempel alat komunikasi.

“Sudah lama, ya, Satria.”

Satria menegang.

“Bayu Kanda…”

Shinta menoleh. “Kau kenal dia?”

“Dulu dia teman seperguruan ayahku. Kini… kaki tangan Sarah Widyawati.”

Bayu tertawa pelan. “Kau cepat mengenali langkahku. Tapi dunia ini sudah berubah. Pendekar tak laku di kota ini. Yang menang adalah yang punya data dan saham.”

Satria bergerak ke depan, melindungi Shinta.

Bayu menoleh ke dua orang bertopeng itu. “Kita mundur. Ini belum waktunya. Tapi sampaikan salamku pada Kala Kembara.”

Dorr! Tabung asap kedua dilempar. Ruangan kembali gelap. Saat asap menghilang, Bayu dan dua orangnya lenyap tanpa jejak.

Pasca Serangan. Shinta duduk, masih gemetar. Beberapa direksi mengalami luka ringan. Reynaldo bahkan pingsan karena sesak napas. Satria mengambil alih situasi dengan sigap, memeriksa semua ruangan, menutup akses, dan langsung melapor ke kepala keamanan pusat.

Namun di sudut matanya, ia menyadari sesuatu: ini bukan serangan pencurian data. Ini pesan.

Pesan bahwa ia sudah ditemukan. Dan permainannya telah dimulai.

Malamnya. Balkon Apartemen Shinta Shinta duduk memeluk lutut, mengenakan jaket tipis. Satria berdiri tak jauh, diam. Angin malam berhembus lembut.

“Bayu Kanda itu… dia yang mencoba membunuhmu dulu?” tanya Shinta perlahan.

“Bukan. Tapi dia murid dari guru yang membunuh ibuku.”

Shinta menoleh. “Apa kamu akan membalas?”

Satria tak menjawab. Hanya menatap langit.

“Ini bukan soal membalas. Ini soal memastikan… bahwa yang jahat tak mewariskan dendam pada generasi selanjutnya.”

Shinta memandangnya. Dan untuk pertama kali… ia melihat luka di balik mata tajam itu.

Dan malam itu, Satria tahu: ini bukan sekadar soal Sarah. Tapi tentang sebuah jaringan kekuasaan gelap yang jauh lebih dalam dari yang ia duga. Dan perang diam-diam telah dimulai.

Bersambung ke Episode 10: Bayangan di Balik