Ustadz, begitu kami biasa menyapa Habib Sayyid Saggaf Aljufrie. Sungguh banyak kenangan indah nan baik yang hendak kami tuliskan tentangmu. Banyak yang lain pun sudah menuliskannya.

Hanya saja, bagian ini adalah permohonan maaf dari saya dan kami khususnya yang pernah bekerja di Surat Kabar Mingguan Alkhairaat, lalu menjadi surat kabar harian dan sekarang bertranformasi menjadi media online.

Ustadz, maafkankan kejahilan kami, maafkanlah kejahilan saya pribadi. Bisa jadi Ustadz tak sempat tahu atau bisa jadi sudah tahu soal ini. Ini juga menyangkut kecerdasan akal pikir dan keberkahan Ustadz.

Ini soal siapa yang bertanggungjawab membaca tulisan tanganmu yang unik dan istimewa itu. Tulisan tanganmu yang juga indah itu ditulis bersambung miring ke kiri. Itu engkau tulis khusus untuk mengisi rubrik Umat dan Masalahnya di SKM Alkhairaat. Saban waktu banyak umat bertanya soal-soal spesifik yang engkau jawab dengan kedalaman ilmu dan akal pikirmu.

Ada yang bertanya soal mana penting: Menyumbang untuk pembangunan masjid di kantor atau naik haji ke tanah suci? Jawabanmu sungguh bijak dan selalu berdasar dalil naqli. Ada beberapa kali pertanyaan serupa dilayangkan ke redaksi SKM Alkhairaat. Yang kami tak habis pikir, bahkan nomor edisi, tanggal dan tahun terbitnya halaman SKM yang menjawab soal itu engkau tahu. Detail. Rinci. Sungguh ingatanmu luar biasa. Akal pikirmu melampaui kami yang muda.

Bila saja itu belum pernah ditanyakan, engkau meminta waktu sehari dua menjawabnya. Nah, ini yang menjadi pangkal kejahilan-kejahilan kami, utamanya saya.

Saban selesai Jumat, engkau sudah menyediakan waktu untuk menerima kami di rumahmu di Jalan SIS Aljufri II atau biasa kami sebut Jalan Cendana, kami namai seperti alamat Presiden RI ke-2, Soeharto di Menteng, Jakarta Pusat atau di Jalan Mangga.

Jadi, siapapun kami yang mendapat tugas menjemput jawaban itu harus membaca kembali lembar jawabannya yang ditulis tangan oleh Ustadz.

“Ini fiqhi, ini hukum Islam. Jangan salah saat diketik ulang dan dimuat di media. Fatal nanti akibatnya,” begitu kata Ustadz pada kami.

Olehnya kami harus membacanya kata per kata dengan teliti. Tulisan tangan Ustadz yang luar biasa itu memang butuh kecermatan membacanya. Sungguh kami baru menyadari indah nian tulisan tangan itu.

Sebenarnya, senior kami Sofyan Arsyad dan Mohammad Rafiq Yahya, Marwan P. Angku dan Joko Hariyanto yang suka menjemputnya. Mereka berempat adalah anak asuh Ustadz yang selalu berharap keberkahan darinya. Tapi seringkali mereka tak ada atau sedang mengurusi hal lain. maka saya dan Mohammad Nawir Lakawa, yang lebih muda ditugaskan.

Inilah masalahnya, beberapa kali kami yang muda menjemputnya, kami sudah membaca dengan benar jawaban Ustadz di kertas bergaris itu, sayangnya saat sudah diketik ulang dan diterbitkan selalu ada typo. Tentu saja keliru ketik ini berbuah teguran. Tapi jangan sangka teguran itu membuat kami kecil hati, justru itu membuka pikiran kami. Ustadz marah karena ini menyangkut hukum Islam. 

Kami sebenarnya sungguh heran, kenapa masih ada yang salah. Padahal, kami sudah meminta Mas Joko Hariyanto, Kakanda Sofyan Arsyad, juga Kakanda Marwan P. Angku dan Mohammad Rafiq Yahya membaca ulang.

Pernah pula suatu waktu, Ustadz sendiri mengantar jawabannya ke kantor SKM. Saya dan Mohammad Nawir Lakawa yang menerimanya, karena kami biasa tidur di kantor. Saat itu Kantor SKM Alkhairaat berada di depan Hotel Palu City. Saat itu, setelah kami berdua membacanya, Mas Joko Hariyanto yang kami serahkan tugas membaca ulang jawaban Ustadz ini. Dan Alhamdulillah, kali ini kami lolos typo.

Sebab urusan ini butuh kecermatan luar biasa, maka kejahilan saya muncul. Saya selalu shalat Jumat di Masjid Alkautsar. Saya pilih di shaft belakang. Ustadz yang selalu menjadi imamnya bila dia tengah berada di Palu. Bila shalat sudah usai, sebelum Ustadz melihat wajah saya, saya duluan “kabur” ke kantor yang saat itu sudah pindah di samping Kantor Radio Alkhairaat.

Sesampainya saya di kantor, saya dengan enteng bilang: “Kak Rafik, KaMarwan dicari Ustadz. Jemput jawaban umat dan masalahnya.”

Mereka tentu saja tidak pakai tanya-tanya lagi langsung bergegas. Ini lebih penting dari perintah sesiapapun. Maka amanlah saya. Kisah ini baru saya tuliskan sekarang lantaran semasa hidup, saya belum sempat meminta maaf atas kejahilan saya itu. Termasuk, saya belum sempat meminta maaf pada almarhum Mohammad Rafiq Yahya sampai dia kembali ke haribaan Allah SWT, sang pemilik jiwanya. Sekarang keduanya telah berkumpul di haribaan Tuhan.

Di lain waktu, bila tak sempat lagi menghindar, sayalah yang mengikuti Ustadz ke kediamannya untuk membaca jawabannya. Bila bukan di Jalan SIS Aljufrie 2, maka di Jalan Mangga. Saya masih ingat manis dan sejuknya sirup marjan yang Ustadz suguhkan di tengah terik matahari Kota Palu. Saya masih merasakan sejuk dan lembutnya telapak tangan Ustadz yang kami cium sebelah menyebelah saat bertemu.

“Ustadz dan Kak Rafiq maafkan saya. Saya belum sempat meminta maaf langsung. Kak Sofyan dan Kak Marwan, maafkan pula saya, baru kali ini saya buka rahasia panggilan dari Ustadz itu.”

Parigi, 4 Agustus 2021