Tak bisa saban waktu saya mengantar senja pulang di bibir laut Teluk Palu. Sesekali saja. Saya tak  suka. Menyaksikan rona senja di bianglala yang perlahan berubah menghitam malam, seperti mengantar kepergian kekasih hati. Tak nyaman rasanya. Sebab indah bianglala berganti gelap. Syukurlah bila bintang gemintang cepat datang menjelang. Kerap kali mega mendung lebih dahulu berarak.

Namun senja ini sepertinya terasa berbeda. Ada perempuan-perempuan berkerudung di depan tungku berapi dengan gerabah di atasnya. Ya, saya baru kali ini lagi bertemu dengan mereka. Mereka adalah para penjaja Dange Sagu dari Kolakola, Donggala. Kampung ini jaraknya kurang lebih 52 kilometer dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Dari sana mereka menumpang angkutan umum. Sewanya Rp40 ribu.

Tempat mereka berpindah ke sebelah timur laut Teluk Palu. Dulu, sebelum amuk tsunami meratakan pantai, mereka berjejer beramai-ramai di pesisir barat Pantai.

Ada wajah-wajah lama. Ada pula wajah baru. Saya tak mau menanyakan apakah ada di antara mereka yang dulunya pergi bersama amukan gelombang tsunami. Tak elok rasanya mengungkit duka lara.

Saya hanya ingin menikmati Dange Sagu. Sagu mentah yang dicampur dengan parutan kelapa lalu dipanggang di atas piring gerabah. Di atas tungku perapian. Agar lebih terasa di lidah, tambahan suiran ikan tuna, teri atau gula aren biasanya jadi pilihan.

Saya pun memesan Dange Sagu pada salah seorang penjajanya. Saya memesannya pada Alfiah. Ia adalah salah satu di antara wajah lama. Ia juga dari Kolakola.

Saya menikmati Dange sambil bersambungrasa dengan Alfiah. Saya mengajaknya bercerita. Kata dia, bila semua jajanannya habis, ke Kolakola dia bisa mengantongi lebih dari Rp200 ribu. Satu bumbung sagu yang biasanya dibuat dari pelepah batangnya dihargai Rp35 ribu.

“Dipotong ongkos angkutan Rp40 ribu, itulah keuntungan kami sehari-hari. Satu lempeng Dange harganya lima ribu rupiah kami jual. Satu bumbung sagu bisa jadi bahan baku dua atau tiga hari,” aku Alfiah.

Senja makin temaram. Sebentar lagi malam tiba. Waktunya untuk pulang. Enaknya Dange masih terasa di lidah. ***