Oleh: Jafar G Bua*
Di negeri di mana kata-kata bisa menjadi pedang, peristiwa ini menjadi bukti betapa tajamnya lidah manusia. Gus Fuad Plered – mestinya Pleret sesuai nama daerahnya – seorang tokoh agama dari Bantul, Yogyakarta mengeluarkan pernyataan yang menerbitkan amarah banyak pihak. Ia menyebut Sayyid Idrus bin Salim Aljufri – atau yang lebih dikenal sebagai Guru Tua – dengan sebutan sungguh tak elok: “monyet.” Ucapan itu meluncur di tengah proses pengusulan Guru Tua – untuk kesekian kalinya – sebagai pahlawan nasional dari Sulawesi Tengah.
Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya sekadar celoteh. Namun, bagi abnaulkhairaat – para santri dan pengikut Alkhairaat – kata-kata itu adalah penghinaan yang tak bisa dianggap enteng. Guru Tua bukan sekadar tokoh agama; beliau adalah mutiara bagi masyarakat di timur Indonesia. Ia juga adalah lentera ilmu bagi para abnaulkhairaat.
Siapa Guru Tua? Lahir di Hadramaut, Yaman, pada 1892, Guru Tua datang ke Nusantara membawa ilmu dan semangat dakwah. Tahun 1930, ia mendirikan Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah. Dari sana, jejaring keilmuannya menyebar hingga ke Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara serta wilayah lainnya di Indonesia.
Madrasah-madrasah Alkhairaat menjadi tempat bagi ribuan santri untuk menimba ilmu agama dan ilmu umum, dengan ruh keislaman yang kental. Nama Guru Tua dikenang bukan karena gelar atau kemewahan, melainkan karena dedikasi dan ketulusannya dalam membangun generasi yang berilmu dan berakhlak. Lantaran ini pula Maradika Djanggola (1921-1945) – Raja ke-11 Palu – menerimanya dengan ikhlas ketika meminta izin membangun madrasah di wilayah kerajaannya di masa itu.
Maka, ketika seorang ulama dari Jawa dengan ringan mulut menyebutnya sebagai “monyet,” sudah sewajarnya jika gelombang protes mengalir deras.
***
Islam selalu mengajarkan kelembutan, tapi bukan berarti umatnya harus diam saat kehormatan ulama mereka diinjak-injak. Penghinaan terhadap Guru Tua bukan sekadar penghinaan personal, melainkan penghinaan terhadap ilmu, perjuangan, dan warisan yang beliau tinggalkan.
Dalam tarikh Islam, penghinaan terhadap ulama selalu menjadi perkara yang sensitif. Di zaman Rasulullah, ada sosok-sosok yang mencemooh dakwah Nabi dan para sahabat. Beberapa kali, orang-orang yang mencela Islam dihukum dengan tegas, terutama ketika penghinaan itu mengancam ketertiban umat.
Namun, Islam juga mengajarkan bahwa kemarahan harus dikelola dengan bijak. Tidak semua hinaan harus dibalas dengan hukuman berat. Rasulullah sendiri, dalam banyak kesempatan, memilih memberi maaf kepada mereka yang mencaci maki dirinya. Yang tidak bisa ditoleransi adalah penghinaan yang mengancam stabilitas sosial dan keimanan umat.
Protes yang muncul dari komunitas Alkhairaat adalah bentuk ekspresi kekecewaan yang wajar. Tetapi ada pertanyaan yang lebih besar: bagaimana seharusnya umat Islam merespons penghinaan terhadap ulama mereka?
Marah itu manusiawi. Namun, apakah marah saja cukup? Apakah sekadar mengecam akan membuat orang-orang berpikir ulang sebelum berbicara sembarangan? Ataukah kita perlu mengambil langkah yang lebih substantif—misalnya, memperkenalkan lebih luas lagi siapa Guru Tua sebenarnya, agar mereka yang tidak tahu menjadi tahu, mereka yang belum paham menjadi paham?
Karena pada akhirnya, warisan Guru Tua bukan tentang membalas dendam. Warisan beliau adalah ilmu. Dan cara terbaik untuk menjaga kehormatannya adalah dengan memastikan ilmu itu terus hidup.
***
Sejarah selalu menyimpan kisah tentang orang-orang yang dihina dan orang-orang yang menghina. Namun, sejarah juga mencatat bagaimana mereka yang dihina memilih untuk membalasnya – dengan kebijaksanaan atau dengan kemarahan yang membara.
Pernyataan Gus Fuad adalah batu kecil yang dilempar ke danau. Riaknya besar, tapi seiring waktu, air akan kembali tenang. Pertanyaannya, apakah kita hanya akan sibuk dengan riak-riak itu, atau kita akan memastikan bahwa danau ini tetap jernih untuk generasi mendatang?
Karena pada akhirnya – saya yakin bila masih hidup – Guru Tua tidak membutuhkan pembelaan dengan amarah. Ia bisa jadi akan memaafkan Gus Fuad, sebab sejatinya yang beliau butuhkan adalah keberlanjutan dari ilmu yang telah beliau tanamkan. Dan itu adalah tugas kita semua.
*Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI, abnaulkhairaat, mantan Redaktur Media Alkhairaat (MAL)