Pagi Buta. Pesan Tak Bertuan. Hening subuh yang biasanya menenangkan, pagi itu membawa firasat asing. Saat Satria membuka pintu apartemennya, ia menemukan sebuah amplop hitam legam tanpa cap pos.
Isinya: “Datanglah ke makam Mahesa Widjaya sebelum matahari tergelincir. Datang sendiri. Tanpa pengawal. Tanpa senjata. Ini bukan perang. Ini warisan.”
Tanda tangan di bawahnya adalah lambang Langit Hitam, namun tergores dengan tinta merah, bukan hitam. Sebuah isyarat kuno: warisan yang dipisahkan dari kepemimpinan aktif.
Pemakaman Tertutup. Lembah Hujan, Pinggiran Kota Cendana. Tak tercatat dalam peta publik, pemakaman ini hanya diketahui kalangan pendekar lama dan tokoh-tokoh dunia gelap spiritual. Bahkan batu nisannya hanya ditandai angka: 02.12.1973 – 17.08.2002. Tanggal lahir dan wafat Mahesa Widjaya.
Namun saat Satria tiba, seseorang sudah menunggu: Rendra Dipa, sang ahli racun dari dewan dalam Langit Hitam. Tapi ia tak menantang. Ia duduk di atas batu nisan, membawa teko teh hangat dan dua cangkir.
“Sudah sampai waktunya,” katanya ringan. “Aku hanya kurir kehormatan. Bukan penjaga gerbang.”
Satria menatap curiga. “Kalau ini perangkap, aku tak akan mati diam.”
Rendra tertawa kecil. “Bukan perangkap. Ini… perkenalan terakhir dari Mahesa.”
Kotak Perunggu & Kitab Tersembunyi. Rendra menunjuk gundukan batu kecil di belakang nisan. Di baliknya tersimpan kotak perunggu berukir awan, ombak, dan pedang—tiga elemen yang melambangkan Pendekar Tiga Langit, gelar tertinggi yang nyaris hanya legenda.
Satria membuka kotak itu.
Di dalamnya: Kitab Warisan Mahesa – Berisi teknik rahasia gabungan ilmu gelap dan terang, dikenal sebagai Jurus Bayangan Ketiga.
Lembar Wasiat Mahesa. Tulisan tangan sang ayah: “Anakku, jika kau membaca ini, maka pilihanku telah mematahkanmu atau menguatkanmu. Aku tak meminta kau melanjutkan jalanku. Aku hanya ingin kau tahu: ibumu menyelamatkanmu dari menjadi aku.”
Kalung berbatu obsidian. Tidak asing. Pernah tergantung di leher Mahesa saat pidato besar terakhirnya sebelum menghilang.
Satria gemetar. Ia menutup kotak perlahan.
“Dia tahu. Sejak awal. Bahwa aku harus memilih… bahkan tanpa kehadirannya.”
Rendra mengangguk. “Mahesa bukan hanya pendekar. Dia adalah arsitek kekacauan dan juru damai pada waktu yang sama. Dan kamu… adalah percobaan terbesarnya.”
Di Luar Makam. Langkah Rahasia. Namun tak jauh dari sana, di balik semak, Bayu Kanda mengintai dengan dua orangnya. Ia menggenggam pistol pendekar—senjata langka dari zaman perang antarperguruan.
“Dia mengambil warisan. Artinya dia siap menjadi musuh,” bisiknya pada orang kedua.
Tapi orang itu—Bisma Kaung—menjawab lirih, “Atau dia sedang memutuskan apa kita layak menjadi sahabat.”
Bayu mendesis. “Tak ada ruang abu-abu. Di dunia ini, siapa tak tunduk… harus ditundukkan.”
Malam Hari. Balkon Apartemen Shinta. Satria memandangi kota. Tangannya menggenggam kalung obsidian warisan ayahnya. Shinta datang dari belakang, membawakan minuman hangat.
“Kau tampak lebih tua malam ini,” candanya pelan.
Satria tersenyum hambar. “Hari ini, aku memakamkan Ayahku… untuk kedua kalinya.”
Lalu ia bercerita, pelan tapi utuh, tentang apa yang ia temukan. Tentang jurus Bayangan Ketiga, tentang Mahesa, dan tentang kemungkinan
terbesarnya: menjadi penerus Langit Hitam—dan menghancurkannya dari dalam.
Shinta menggenggam tangannya. “Kalau jalanmu gelap, aku akan jadi lampu kecil di bahumu.”
Satria menunduk. Untuk pertama kalinya, ia menangis. Tak keras. Tapi cukup untuk membuat bahunya berguncang.
Malam itu, Satria Wibawa tak hanya mewarisi kekuatan… tapi beban. Dan jauh di dalam hatinya, ia tahu: masa depan akan menuntutnya untuk menjadi bayangan… agar orang lain bisa tetap melihat terang.