Belakangan ini, kata ”Islam” sering diikutkan dengan istilah seperti “fundamentalis”, “militan”, “radikal”, “teroris”, “modernis”, “liberalis”, dan “sekularis”, dan lain-lain. Berbagai penamaan tersebut sudah sangat umum dipakai dalam mengkaji dan mengulas Islam moderen. Bahkan, isu “fundamentalisme Islam”  telah menyedot  perhatian  jauh sebelum  Perang Dingin berakhir.

Para sarjana telah mencermati terjadinya gelombang 'tsunami' politisasi agama sebagai fenomena  global  yang baru.  Mereka mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama sebagai tandingan dari modernisme dan sekularisme.

Maraknya aksi teror di Indonesia telah menyimpulkan  beragam  pertanyaan.  Siapa  dalang  di balik aksi tersebut, apa motif di balik aksi tersebut, dari mana sumber dananya serta teoretisasi apa yang relevan untuk mengungkap gerakan di Indonesia khususnya, dan di dunia secara umum.

Opini yang berkembang dan yang terkuat mengenai faham yang menimbulkan aksi terorisme antara lain faktor agama dan ideologis. Ada yang berpendapat terorisme  bersumber  dari  ajaran  agama  dan  pernah dilakukan  atas  nama  semua  agama. 

Martin  Marty  dan Scott  Appleby  dalam  Bassam  Tibbi, 2000,  Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, berpendapat,  terorisme  disuburkan  oleh  ideologi- ideologi tertentu. 

Tetapi tidak dapat diingkari sebagian  besar  aksi  terorisme  tersebut  mengklaim ajaran Islam dan menggunakan tema-tema umum dalam agama Islam. Hal ini seolah menguatkan bahwa kasus terorisme di Indonesia terkait dengan ideologi tertentu dalam agama Islam.

Ideologi, atau lebih tepatnya pemahaman agama dan ekspresi  keberagamaan  yang  sering  dikaitkan  dengan aksi terorisme adalah Fundamentalisme Islam. Istilah fundamentalisme Islam meskipun masih dalam status “sengketa”, namun pemberitaan media massa dan kajian akademik telah mengukuhkan istilah ini sebagai titik tolak pembahasan akar . Tanpa dapat dibendung, fundamentalisme Islam telah menjadi tema baru dalam khazanah sejarah pemikiran Islam di Indonesia. 

Perbincangan tentang fundamentalisme agama menguat ketika beberapa aksi kekerasan hingga aksi terorisme yang terjadi di Indonesia melibatkan pelaku yang begitu konsisten menggunakan dalil-dalil agama dalam tindakannya. Tidak mengherankan jika paham ini dapat dengan mudah dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan terorisme.

Secara historis, istilah fundamentalisme berakar dari agama Kristen. Istilah fundamentalisme kadang cenderung berkonotasi negatif dan mengejek, tapi juga berfungsi untuk memberi batasan terhadap satu kondisi tertentu sebagaimana gerakan “evangelicals” (para penjaga Injil) yang erat hubungannya dengan politik di dalam Gereja.

Menurut Muhammad Imarah, 1998, fundamentalisme menjadi gerakan keagamaan masyarakat Kristen Barat pada dasawarsa pertama abad ke-20. Gerakan ini telah melahirkan banyak organisasi dan yang paling menonjol adalah di Amerika Serikat. Di antaranya adalah Perkumpulan Kitab Suci (The Society of the Holy Scripture) pada tahun 1902. Organisasi ini menerbitkan konsep paper yang berjudul Fundamentals, sebagai pertahanan dan pembelaan terhadap interpretasi tekstual Injil sekaligus  sebagai  serangan  terhadap  kritik  dan  interpretasi kontekstual terhadap Injil. 

Di samping itu di Amerika Serikat juga muncul “Lembaga Kristen Fundamentalis Internasional” dan “Perhimpunan Fundamentalis Nasional” pada 1919.

Menurut John L Esposito, Fundamentalisme sebagai sebuah pemahaman tidak hanya terkait dengan gerakan atau kelompok sosial msyarakat saja. Bahkan negarapun bisa dipandang sebagai institusi yang diperintah atas semangat fundamentalisme ini. Misalnya, monarki konservatif di Saudi Arabia, Negara  sosialis radikal di Libya, keulamaan yang mengatur Iran, Taliban di Afghanistan dan Republik Islam Pakistan, semuanya disebut “fundamentalis”. 

Istilah tersebut mengaburkan perbedaan antara mereka sendiri. Contohnya Libya dan Iran memiliki banyak pandangan anti Barat pada masa lalu, sedangkan Saudi Arabia dan Pakistan   sering menjadi sekutu AS. Islam politik dan Islamisme adalah istilah yang lebih berguna jika menunjuk pada peran Islam dalam politik.

Fundamentalisme atau Islam politik berakar pada kebangkitan agama kontemporer, yang dimulai pada akhir 1960-an dan   telah mempengaruhi kehidupan publik dan pribadi muslim. Di satu sisi, banyak muslim menjadi taat secara agama, menunjukkan peningkatan perhatian pada shalat, puasa, pakaian dan nilai-nilai keluarga juga memperbaharui minat dalam mistisisme Islam atau Sufisme. 

Di sisi lain, Islam muncul kembali dalam kehidupan publik sebagai ideologi alternatif politik dan sosial pada nasionalisme sekuler, kapitalisme barat dan sosialisme Marxis, yang dipercaya  telah gagal membantu mayoritas Muslim melepaskan diri dari kemiskinan, pengangguran dan tekanan politik. Pemerintah,  gerakan Islam dan organisasi Islam dari yang moderat sampai yang ekstrim tertarik pada Islam untuk legitimasi dan memobilisasi dukungan umum.

Meskipun kosa kata fundamentalisme berasal dari konteks sosial relijius dunia Barat, namun fundamentalisme sesungguhnya merupakan fenomena global yang dapat dijumpai dalam semua tradisi agama- agama besar di dunia. Dalam  perkembangan berikutnya ditemukan kecenderungan penamaan fundamentalisme agama untuk menandai hadirnya gelombang ideologi baru pascakeruntuhan ideologi sosialisme, yang seringkali diidentikkan dengan Islam.

Usaha mengidentifikasi fundamentalisme dengan Islam ini terus dilakukan di dunia Barat seiring dengan menguatnya arus gerakan Islam radikal di dunia Islam. Dunia Barat tidak saja melihat gejala ini sebagai suatu perkembangan natural di dunia Islam, tetapi juga menyatakannya sebagai ancaman bagi masa depan peradaban Barat. 

Cara pandang sementara kelompok di Barat yang melihat fundamentalisme Islam sebagai ancaman langsung bagi jantung peradaban Barat memang tidak cukup beralasan, tetapi cara  ekspresi fundamentalisme Islam yang cenderung menggunakan retorika “anti Barat”, dan kritis terhadap agenda politik dan budaya Barat, mempermudah sebagian kalangan untuk memahami kekhawatiran dunia Barat tersebut.

Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-Ushuliyyah al-Islamiyyah (fundamentalisme Islam),  al  salafìyah (warisan leluhur), al-Sahwah al Islamiyah (kebangkitan Islam), al-Ihya al Islami (bangunnya kembali Islam), al Badil al Islami (alternatìf Islam). Dengan demikian secara umum fundamentalisme bisa dimaknai sebagai paham untuk kembali kepada sesuatu yang dipandang sebagai pokok, dasar, dan asas.

Menurut  M. ‘Âbid  al-Jâbirî,  istilah  muslim ‘fundamentalis' awalnya dicetuskan sebagai penanda (signifier) bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al- Afghânî. 

Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah. Anwar Abdul Malik memilih istilah itu sebagai  representasi  dari istilah  Salafiyyah  Al-Afghânî, 1965 dalam Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi Al- Mu‘âshir dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia tentangnya dengan istilah yang sudah cukup akrab: fundamentalisme.

Mohammed Arkoun, 1999; menyatakan, fundamentalisme Islam sebenarnya bukan bagian dari Islam tetapi merupakan fenomena sosial dan politik semata. Apalagi gerakan fundamentalisme kontemporer tidak lebih merupakan hasil ideologisasi dan politisasi Islam. Demikian pula halnya keseluruhan faktor yang menggerakkan fundamentalisme Islam baik oposisi, susunan ideologi, impian kolektif maupun halusinasi individual tidaklah menuju kepada Islam sebagai agama dan tradisi pemikiran.

Menurut Nader Saidi dalam M. Zaki Mubarak, 2015; eksistensi fundamentalisme Islam kontemporer harus dapat dipahami lebih baik dalam kaitannya  dengan kegagalan agenda liberalisme Islam (The Failure of Islamic Liberalism) abad ke-19 dan 20. Gerakan Islam fundamentalis modern adalah penolakan secara mendasar atas liberalisme Islam dan reaksi terhadap kontradiksi-kontradiksi  internal  serta kesukaran dalam usahanya menyelaraskan antara persepsi-persepsi Islam dan tantangan modernisasi.

Sebagai tema sosiologis, “Fundamentalisme” pada dasarnya   merupakan istilah netral yang pada saat tertentu bisa dimaknai positif ataupun negatif. Fundamentalisme dimaknai positif dalam arti bahwa istilah tersebut menunjukkan kelompok yang teguh memegang keyakinannya tentang kebenaran. Sedangkan makna negatìf terletak pada kesulitan kelompok tersebut untuk melakukan akselarasi gagasan, negosiasi dan resistensi dengan kelompok lain yang dianggap sebagai lawan. Karena itu orang luar memandang bahwa kelompok “Fundamentalis” sebagai kelompok yang kaku dan tak kenal kompromi. 

Sementara itu, istilah “radikal fundamentalis” di mana kata “radikal” ditempatkan di depan kata “fundamentalis” mengandung arti suatu tindakan yang berhubungan dengan penanganan spontan untuk meningkatkan keadaan sosial.

Dengan kata lain suatu upaya perubahan sosial yang dilakukan secara spontan menggunakan berbagai macam cara – termasuk kekerasan – ke arah yang dikehendaki oleh pelaku perubahan.

Al Zastrouw Ng, 2015; Menerjemahkan kata “radikal” yang terletak di depan kata “fundamentalis” sebagai penegasan atas watak dan perilaku kaum fundamentalis yang radikal dan fanatik dalam mengaktualisasikan idealisme dan konstruksi pemikiran mereka.

Dengan demikian, kata radikal fundamentalis mengandung pengertian suatu tindakan radikal dan fanatik yang siap melawan musuh Islam untuk membela kebenaran agama Islam sesuai dengan yang ada dalam keyakinan mereka.

Fundamentalisme Islam Indonesia memiliki ciri khas yang sangat jauh berbeda dengan fundamentalis Islam di negara seperti Pakistan ataupun negara-negara timur tengah lainnya. Kelompok fundamentalisme Islam di Indonesia mempunyai hubungan yang dekat dengan kalangan pemerintahan  maupun  militer. Fundamentalisme Islam di negara lain rata-rata menjauhinya bahkan melakukan konfrontasi secara terbuka.

Fundamentalisme dalam konteks politik sebenarnya sudah berakar lama dalam sejarah politik Indonesia. Sejarah Indonesia mencatat beberapa periode perdebatan negara dan gerakan fundamentalis. Misalnya sekitar 1940-1960, dengan kontestan Negara dengan ideologi nasionalismenya (diwakili Sukarno-PNI) di satu pihak dan Masyumi serta elemen gerakan fundamentalis lainnya di pihak lain. Begitu juga dengan gerakan Darul Islam/Tentara  Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1950-1965, dengan gerakan mereka yang bertujuan medirikan Negara Islam Indonesia (NII).

Referensi:

Al-Zastrouw Ng., 2006. Gerakan Islam Simbolik, Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta: LKiS.
Martin Marty dan Scott Appleby dalam Bassam Tibbi, 2000. Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mohammaed Arkoun, 1999. Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Postmodernisme. Surabaya: Alfikr.
M. Zaki Mubarak, 2015. Dari NII ke ISIS: Transformasi Ideologi dan Gerakan dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer. Epistemé, Vol. 10 No. 1, Juni 2015. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Muhammad Imarah, 1998. Perang Terminologi Islam versus Barat. Jakarta: Robbani Press.
Zainul Ma'arif. Paradigma Kompleks sebagai Pisau Analisis.
http://islamlib.com/ id/index.php?page=article&id=74, 28/11/2002. Diakses 1 Juni 2022.