Perburuan Ali Kalora, pimpinan Mujahiddin Indonesia Timur kian digiatkan. Satuan Tugas Operasi Madago Raya yang efektif pada Januari 2021 memburu pengganti Santoso alias Abu Wardah itu. Senin, 1 Maret 2021 lalu, Ia dilaporkan tertembak dalam kontak senjata di sekitar Andole, Tambarana, Poso Pesisir Utara. Apakah ini akan menjadi masa akhir pelariannya? Sebenarnya seberapa besar kekuatan mereka?
Ali Kalora alias Ali Ahmad, pimpinan Mujahiddin Indonesia Timur mulai diburu sepeninggal Santoso alias Abu wardah yang tewas ditembak pada 18 Juli 2016. Sejumlah aksi terorisme telah dilakukannya sepanjang 2012 – 2021. Kemunculannya pada Selasa, 23 Februari 2021 dan Senin, 1 Maret 2021 lalu Rabu, 3 Maret 2021 kembali menelan korban jiwa di pihak Satuan Tugas Operasi yang kini bersandi Madago Raya.
Kelompok ini menjadikan daerah Tamanjeka, Poso Pesisir Utara hingga Lembah Napu, Poso sebagai basisnya bahkan menyeberang ke wilayah Salubanga, Parigi moutong sampai ke Lembantongoa di Sigi.
Beragam upaya sudah dilakukan untuk melumpuhkan pergerakan kelompok ini dengan melibatkan semua satuan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia.
Pada kontak tembak dengan aparat Satuan Tugas Operasi Madago Raya pada selasa, 23 Maret 2021 di Salubanga, Sausu, Parigi Moutong, Ali Kalora dilaporkan tertembak, namun ia berhasil meloloskan diri.
Juru Bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Komisaris Besar Didik Supranoto membenarkan soal tertembaknya pentolan Mujahiddin Indonesia Timur ini. Ia juga menyatakan bahwa Ali terlibat dalam kontak tembak pada 1 maret 2021 yang menewaskan Prajurit Kepala Dedy Irawan lau pada 3 maret 2021 yang menewaskan Brigadir Polisi Satu Herlis.
“Sementara demikian kita pastikan bahwa kelompok yang baku tembak dengan Satgas itu dipimpin Ali Kalora. Ia kita duga tertembak dan kemudian kita kejar hingga terjadi kontak tembak lagi,” jelas Didik.
Sebenarnya siapa Ali Kalora? Tak banyak data soal sosok bernama asli Ali Ahmad ini. Setelah Santoso alias Abu Wardah mangkat pada 18 Juli 2016, lalu Daeng Koro tewas ditembak, ia didaulat menggantikan posisi Amir Mujahiddin Indonesia Timur didampingi Basri. Setelah Basri yang diduga mata-mata Polisi ditangkap, praktis ia adalah anggota paling senior dalam kelompok ini. Dialah yang kemudian menjadi target utama Satuan Tugas Operasi.
Ali diketahui lahir di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso. Ia memiliki seorang istri bernama Tini Susanti Kaduku. Di kelompoknya Tini disapa Ummi Farel. Sedangkan penambahan nama Kalora di belakang nama Ali berasal dari Desa Kalora tempatnya dilahirkan. Nama itu diperkenalkan polisi lalu digunakan secara umum dalam pemberitaan media massa.
Ada informasi lain menyebutkan bahwa Ali lahir di Ambon, Maluku lalu ke Poso dan menetap di Desa Kalora. Kemungkinan besar dia menjadi bagian dari Laskar Jihad Ahlusunnah Waljamaah yang masuk ke Poso pada 2000. Setelah Laskar Jihad dipulangkan pasca Deklarasi Malino pada 2002, dia memilih menetap di Poso.
Dari pelbagai keterangan, Ali diketahui benar-benar mengenal daerah di mana dia bersembunyi sepanjang Gunung Biru, Tamanjeka, Lembah Napu, Kabupaten Poso hingga ke Salubanga, Sausu, Kabupaten Parigi Moutong. Meski demikian, Ali dianggap memiliki kemampuan di bawah Santoso.
Sebenarnya seberapa besar kekuatan kelompok ini sehingga sulit dihadapi? Padahal sejumlah operasi digelar untuk melumpuhkan mereka.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Dedi Askary menyebutkan sungguh mengherankan bila kelompok kecil seperti Mujahiddin Indonesia Timur dihadapi dengan mobilisasi pasukan. Apalagi sudah tentu menggunakan anggaran besar untuk itu.
“Saya selalu ditanya tentang seberapa banyak kekuatan kelompok ini. Seperti diketahui publik kekuatan kelompok ini tinggal sebelas orang sebelum kontak tembak terakhir. Adalah hal lucu bila operasi seperti ini berlarut-larut,” kata Dedi.
Ia juga menyebutkan adalah lucu bila alasan sulitnya medan menyulitkan aparat keamanan melumpuhkan mereka sejak dulu.
“Nah jika alasannya itu dipakai, maka pertanyaannya adalah kenapa kemudian unit atau satuan tempur strategis yang dilatih dengan anggaran besar untuk berperang di hutan, melakukan perburuan, counterterrorist tidak diturunkan,” ujar dia.
Dedi memandang bahwa penggunaan teknologi canggih semisal drone atau UAV (unmanned aerial vehicle) adalah hal yang memungkinkan.
“Katakanlah medannya sulit, kenapa tidak menggunakan kecanggihan teknologi untuk meminimalisir korban. Menggunakan drone, misalnya, belanja satu kali misalnya harga drone lima miliar. Identifikasi lokasi mereka, lalu terjunkan pasukan dan lumpuhkan kelompok itu. Daripada menghabiskan anggaran untuk memobilisasi pasukan,” hematnya.
Seperti diketahui, Satuan Tugas Operasi Madago Raya kini mengkonsentrasikan perburuan mereka atas jejak Ali Kalora dan kelompoknya di wilayah Poso Pesisir Utara. Kekuatan mereka tidak kurang dari 6 satuan setingkat kompi (SSK). Mereka terdiri dari sejumlah satuan di Kepolisian ditambah Komando Operasi Khusus yang beranggotakan sejumlah satuan elit di Tentara Nasional Indonesia.
Menurut Dedy sebenarnya kekuatan Satuan Tugas Operasi ini tidak sebanding dengan kekuatan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur.
“Keahlian dan kapasitas pasukan elit kita disamakan dengan kapasitas dan keahlian pasukan Ali Kalora, malu dong. Keahlian dan kapasitas elit kita itu menghabiskan triliunan uang negara untuk menghasilkan satu personil yang profesional dan hebat. Lalu untuk kelompok ini harus memobilisasi besar-besaran pasukan elit, ini gila,” tukas Dedy.
Sementara itu, Ali Kalora kini cuma menggantungkan kelangsungan kelompok ini pada delapan orang kombatan. Mereka adalah Qatar alias Farel alias Anas, Askar alias Jaid alias Pak Guru, Abu Alim alias Ambo, Nae alias Galuh alias Mukhlas, Jaka Ramadhan alias Ikrima alias Rama, Rukli dan Suhardin alias Hasan Pranata.
Berapa lama lagi kelompok ini akan bertahan? kita tunggu saja. ***
Discussion about this post