Perintah-perintah kepadanya disampaikan melalui jalur komunikasi biasa. Mereka akan berkomunikasi telepon layaknya berkirim kabar antara ayah dan anak. Biasanya juga berupa perintah membuat artikel ini dan itu.

Ketika masuk membawa kebutuhan kelompok Santoso, ia sama sekali tak berbekal satu pun alat komunikasi. Semua alat komunikasi ditinggalkan di rumah aman. Identitas diri pun tak dibawa. Ia masuk melalui kontak-kontak yang sudah dipersiapkan begitu rupa.

Ustadz Syamsul di Desa Masani, Poso Pesisir menjadi kontak awalnya sampai ia kemudian dipercaya menjadi kurir kelompok mujahiddin itu. Ustadz itulah yang meyakinkan Santoso. Mereka tak tahu bahwa Ustadz Syamsul sampai saat ini masihlah agen intelijen aktif.

Ahmad pun baru tahu beberapa waktu kemudian setelah diberi tahu bahwa Syamsul adalah bridge agent, ia menjadi jembatan atau kurir antara Ahmad dengan Brigjen Syamsuddin. Meskipun Ahmad sendiri bisa langsung berkomunikasi dengan perekrutnya itu.

Nah, sebagai agen kurir, Syamsul kenal berapa orang asset atau agen aktif yang ditugaskan di lapangan. Ia menjadi mata bagi case officer, agen pengendali operasi untuk mengawasi asset di lapangan.

Darinya, Ahmad juga tahu bahwa ‘ayahnya’ itu pernah digembleng di Langley, Fairfax County, Virginia. Itu adalah markas Central Intelligence Agency, pusat intelijen Amerika Serikat.

Menurut Ahmad, ‘ayahnya’ itu memang tergolong perwira intelijen yang berpikir maju dan modern. Itu ternyata karena basis pendidikannya yang memadai. Ia pernah pula menjadi staf Konsulat RI di New York sebelum ditarik kembali ke Indonesia.

Adapun Ustadnya itu, sebelum menjadi agen sempat mondok di salah satu pesantren di Magetan, Temboro, Jawa Timur. Ia kemudian menjadi taruna di Sekolah Tinggi Intelijen Negara di Sumur Batu, Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat.

Wajarlah dia kemudian ketika ditugaskan di lapangan dikenal sebagai Ustadz. Ilmu agamanya mumpuni, begitupun ilmu intelijennya. Seperti ‘ayah’ Ahmad, ia adalah pengagum mendiang Kolonel Zulkifli Lubis.

Zulkifli Lubis, lulusan pertama sekolah intelijen yang dibikin oleh penjajah Jepang di Tangerang. Ia pernah ditugaskan Jepang di Singapura selama sekitar setahun.

Setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, Zulkifli kembali ke Jakarta. Ia yang mempelopori Badan Istimewa, cikal bakal Badan Intelijen Negara. Menurutnya ketika itu, operasi apapun tanpa dukungan informasi intelijen akan sulit berhasil.