Di ruangan penuh kar topografi Lembah Napu, Mayor Infanteri Dedi Handoko tengah memberi taklimat kepada Satuan Gabungan TNI – Polri.
“Saudara-saudara, saya memahami kerisauan Anda semua. Kemarin kita sudah berhasil menyekat posisi musuh begitu rupa. Tapi saya memerintahkan kita semua mundur. Itu semata-mata atas pertimbangan strategis dan taktis. Keselamatan dan nyawa saudara-saudara ada dalam tanggung jawab saya. Saya tidak mau kita semua kembali ke kampung halaman dalam peti mati,” tandas perwira lulusan Akademi Militer 1999 itu.
Dedi menjelaskan bahwa posisi kelompok Mujahiddin Indonesia Timur di bawah Amir-nya Santoso alias Abu Wardah di atas lereng bukit. Sementara mereka berada di cekungan lembah. Seandainya, mereka memaksa menyerang, mereka tidak akan berhasil melumpuhkan pimpinan kelompok itu. Pasukan Satuan Tugas Operasi Tinombala pun pun akan menjadi bulan-bulanan.
“Kita akan mengubah strategi penyekatan kita. Personil Satuan Brigade Mobil akan menjadi penyekat dan pengarah jalan Santoso dan kawan-kawan menuju ke arah Gunung Biru di mana kita akan dengan mudah melumpuhkan mereka dan mengurangi risiko kekalahan kita. Pasukan tidak boleh terpancing untuk melakukan kontak tembak dengan mereka. Pastikan saja mereka berada di jalur pergerakan mereka ke arah lokasi di mana di kita mudah melumpuhkan mereka. Ini operasi senyap yang insya Allah akan berhasil, ” tukas Dedi.
Sementara itu, untuk mengurangi kekuatan mereka, “kita akan mulai menjemput satu demi satu kurir logistik mereka yang turun ke kampung untuk meminta paksa atau merampas bahan makanan dari warga. Kalau mereka menyerah kita jemput baik-baik, tapi kalau melawan kita ambil tindakan tegas terukur. Kita sudah tahu jalur-jalur kurir mereka. Mereka bergerilya, kita balas dengan cara gerilya pula,” sambung Ajun Komisaris Polisi Rifki Sulaiman yang memimpin tim penyekat.
Perwira pasukan elit Kepolisian itu pun menjelaskan bahwa setiap ada anggotanya yang dijemput, kelompok ini pasti langsung tahu. Itu akan melemahkan mental mereka. Apalagi dalam kelompok itu sudah ada anggota Satuan Tugas Intelijen yang disusupkan.
“Saya sendiri tidak tahu siapa dan dari badan atau kesatuan apa, kawan kita itu. Namun ia aktif memberikan informasi kepada perwira komando kita. Saya juga sudah mencari tahu tapi menemui jalan buntu. Tidak ada yang buka suara atau memang mereka benar-benar tak tahu. Minggu lalu kita bahkan dikirimi video aktifitas mereka dari hutan itu,” aku Rifki.
Mendengar penjelasan itu, 30 personil gabungan TNI-Polri itu pun mahfum. Mereka paham kecakapan kedua perwira mereka ini. Solidaritas dan tanggung jawab mereka pada anak buah pun sangat lumayan.
“Saat ini sudah ada pasukan yang bertugas menyekat dan menggiring jalur pergerakan kelompok Santoso. Kita diberi waktu seminggu untuk mengaso, menyiapkan fisik dan keperluan lain. Waktu operasi kemudian bisa seminggu atau bahkan lebih. Intinya kita siapkan diri. Jangan lupakan shalat dan ibadah bagi pemeluk agama lain,” pesan Dedi pada pasukan pilihannya itu.
Dedi menghentikan taklimat selanjutnya sebab tiba-tiba teleponnya berdering. .
“Siap, Jenderal. Saya baru saja selesai memberikan taklimat pada anggota. Mereka paham pada situasi yang baru saja terjadi,” balas Dedi.
Ia lalu menjauh dan masih terus berbicara. Para prajurit TNI – Polri yang ada di sekitarnya hanya mendengar dia menyatakan; “Siap…Siap, Jenderal.”
Beberapa hari kemudian Dedi baru menyampaikan kepada pasukannya bahwa ada informasi dari kelompok itu melalui anggota intelijen yang disusupkan bahwa Santoso akan mengarah ke arah Gunung Biru, di Tamanjeka, Tokorondo, Poso Pesisir Utara. Hanya saja belum ditentukan kapan mereka akan bergeser.
“Namun bisa kita pastikan bahwa saat ini mereka ada dalam jangkauan frekuensi radio telekomunikasi. Artinya mereka belum bergerak jauh dari posisi kita saat ini,” jelasnya.
***
Mayor Infanteri Dedi Handoko baru berusia 38 tahun pada 2016 itu. Ia adalah lulusan terbaik Akademi Militer 1999. Lahir di Medan, Sumatera Utara, 5 Mei 1978. Tapi ia bukan orang Batak. Bapak dan ibunya bersuku Sunda. Jabatannya mentereng; Komandan Batalyon Infanteri 300/Raider Kodam III/Siliwangi. Dia baru saja dilantik menjadi Danyon salah satu pasukan elit TNI Angkatan Darat itu. Sebentar lagi pangkatnya Letnan Kolonel.
Saat masih berpangkat Letnan Dua ia memimpin Peleton 3/A Batalyon Infanteri 751/Vira Jaya Sakti dalam operasi penumpasan Gerakan Aceh Merdeka di Nanggroe Aceh Darussalam. Pasukan yang dipimpinnya memang kerap mendapatkan tugas operasi khusus.
Para Raider yang dibawanya dalam operasi ini sudah berpengalaman di sejumlah medan tempur mulai dari Aceh sampai Papua. Itulah yang membuat pasukannya dipilih menjadi bagian Satuan Tugas Operasi Tinombala.
Senjata andalan mereka SS-1 R5 merupakan senapan serbu pendek dan ringan. Senjata buatan PT Pindad ini menjadi andalan pasukan Raider ini untuk menjalani pertempuran senyap di hutan.
Selain ringan, senapan SS-1 R5 ini juga dilengkapi dengan teleskop bidik yang dapat meningkatkan akurasi tembakan.
Soal kemampuan jangan diragukan. Mereka terlatih dalam operasi-operasi khusus. Mereka menguasai teknik drill kontak, kontak tembak di dalam hutan. Itulah kenapa mereka dipilih untuk mendukung Satuan Tugas Operasi Tinombala.
Mereka pun ahli infiltrasi atau penyusupan dan eksfiltrasi atau teknik melarikan diri penyekapan dari musuh. Bahkan, meski mereka adalah pasukan darat, kemampuan mobud atau mobil udara mereka sangat lumayan. Begitu pun kemampuan Ralasuntai atau Operasi di rawa, laut, sungai dan pantai. Kemampuan raid baswan atau operasi pembebasan tawanan mereka pun diakui.
Pasukan mereka dilatih dengan keras. Mereka teruji dapat tidur dan tetap waspada di di bawah guyuran hujan. Sebagai pasukan antigerilya atau pemburu gerilya, personil Raider harus bisa bertahan hidup berhari-hari di hutan belantara.
Walau hanya berlindung di bawah selembar matras tipis, pasukan ini harus bisa tetap istirahat demi menjaga kelancaran operasi militer yang tengah dijalankan.
Soal kemampuan mereka berjalan kaki, patut pula diancungi jempol. Mereka mampu berjalan hingga ratusan kilometer. Dalam latihan mereka dituntut harus mampu berjalan kaki hingga ratusan kilometer untuk memburu gerilyawan musuh.
Oleh sebab itu, latihan lari setiap hari menjadi makanan wajib pasukan ini. Agar kemampuan setiap personel tetap prima, latihan lari ini tetap dilakukan setiap hari walaupun prajurit Raider sedang menjalankan ibadah puasa.
***
Di meja kerja samping velbednya di tenda militer berukuran 4 x 6 meter, Dedi baru saja membaca laporan situasi, foto dan menonton video aktifitas Santoso dan kelompoknya di sekitar Lembah Napu.
Semua itu dikirimkan oleh anggota intelijen yang disusupkan di kelompok itu hampir setahun ini. Dedi juga belum pernah bertemu muka dengan pemberi informasi-informasi penting ini. Informasi dikirim secara berjenjang ke dirinya.
Namun, ia harus mengakui informasi itu sangat membantu tugas operasi mereka. Dedi membatin bahwa kelak setelah operasi ini selesai, ia akan mengucapkan terima kasih khusus pada orang itu.
Pernah ini mencoba bertanya pada perwira atasannya; Sang Jenderal itu, tapi tentu saja ia tak akan mendapat jawabannya.
“Suatu hari saya pasti akan bertemu dengan orang ini. Saya akan memberi hormat padanya dengan sikap sempurna, tak peduli apakah dia perwira, bintara, tantama atau apapun,” kata Dedi membatin dalam sejumput dua doa penutup malam sebelum matanya tak kuasa melawan kantuk.
Dan syahdu suara serangga malam menguasai sunyinya Lembah Napu yang dingin berkabut itu. Iramanya bak simponi pengantar lelap. Lalu Kesunyian memeluk lembah itu.
Kisah selanjutnya: Bara Api di Timur Celebes: Benteng Rahasia di Gunung Biru
Discussion about this post