wilayah Poso. Sejak saat itu, Santoso-lah yang bertanggungjawab untuk serangkaian tadrib asykari ini. Pesertanya, adalah mujahidin lokal serta para mujahidin luar Poso yang rata rata adalah para pelarian kasus terorisme di Jantho Aceh 2010, kasus bom Universitas Bung Karno 2010, dan sejumlah kasus lain.

Tapi jangan disangka mereka memiliki peralatan tempur yang memadai. Mereka cuma punya sebanyak 3 pucuk senjata. Kas asykari pun kosong melompong. Sejak saat itu, aksi-aksi fa’i, pencarian dana pun dilakukan. Untuk melengkapi senjata, sasaran paling mudah kelompok ini adalah para Polisi yang bertugas di lapangan.

Sejak saat itu, Santoso menghilang dari rumah. Gunung Biru, Tamanjeka dipilih sebagai tempat persembunyian kelompok ini. Santoso pun menghubungi Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa alias Daeng Koro di Makassar. Ia meminta pecatan angggota Korps Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat itu bergabung dengan dirinya dalam persembunyian.

Ia pun menugaskan Imron dan Bahrunnaim untuk menghubungi petempur-petempur dari luar Sulawesi Tengah agar bergabung dengan kelompoknya di Poso. Para lulusan Akademi Militer Afghanistan pun diundang.

Gayung pun bersambut. Zipo alias Ibenk asal Bima yang terlibat kasus bom UBK pada Juli 2011 menyatakan bergabung dengan kelompok Santoso. Tapi lagi-lagi kelompok ini tersandung pada ketiadaan dana operasi sampai kemudian Rizki dan Cahya di Surabaya, Jawa Timur yang bersimpati pada kelompok ini meretas situs investasi online Speedline. Mereka berhasil membobol kas perusahaan investasi ini lebih dari Rp7 miliar. Sekarang, Santoso dan kelompoknya bisa bernafas lega.

Pada awal 2012 mereka pun mulai melakukan perekrutan calon peserta pelatihan dari pelbagai wilayah di luar Poso meliputi Medan, Sumatera Utara, Bima, Nusa Tenggara Barat dan Solo, Jawa Tengah. Sejak saat itu, sel-sel kelompok sipil bersenjata dari pelbagai daerah pun menyatakan dukungannya pada MIT.

Beberapa orang di antaranya adalah mantan pengikut Noordin Moh Top dibawah Badri Hartono yang menamai diri Alqaeda Indonesia. Lalu kelompok Beji, Depok di bawah Abu Thoriq, kelompok Pamulang di bawah pimpinan Kodrat, adapula kelompok Mujahidin Indonesia Barat di bawah kendali Abu Roban, pelarian kasus Jantho Aceh. Belakangan sejumlah kelompok Bima dan Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan sokongan mereka pada Santoso.

Asykari pimpinan Santoso ini pun akhirnya merasa diri kuat. Pada 2012 itu pula dengan menjadikan daerah Gunung Biru, Tamanjeka sebagai basis mereka, Santoso pun diangkat sebagai amir Mujahiddin Indonesia Timur. Asykari diserahkan kendalinya apda Daeng Koro pecatan Kopassus yang juga alumini Akademi Militer Moro, Philipina Selatan. Latihan-latihan asykari pun makin digiatkan.

Setelah Polisi gencar memburu mereka, kelompok ini menggelar tadrib berpindah-pindah. Mereka membuat basis pertahanan sepanjang Poso Pesisir sampai Parigi. Setelah mereka mendaulat diri sebagai bagian dari ISIS, dukungan dari jejaring terorisme internasional pun terus berdatangan. Apalagi sebelumnya, senjata-senjata yang mereka punya memang berasal dari Moro, Philipina Selatan. 

***

“Ustadz, sahabat-sahabat kita sebentar lagi tiba. Kita akan menyambut mereka,” kata Imron, kombatan asal Tamanjeka mengejutkan Santoso yang tengah mengingat rangkaian persiapan tadrib asykari ini. Imron adalah pengawal Santoso.

Saat itu, bersama mereka ada Ayas dan Fadil dari Kalimantan, Ustadz Yogi dari Jawa, Ustad Fahri dari Sumatra, Isnain dari Palu dan Naim dari Poso Kota.

Kombatan yang datang diantar oleh kurir adalah Solihin, Saifudin, Bahrudin, Atif, Rahmat Hisbullah, Muad dan Reza. Mereka berasal dari Palu, Poso, Jakarta dan Bima. Menyusul kemudian Muhammad Yani dan Soni Hermawan dari Jawa Barat.

Praktis sejak Februari hingga April 2012, mereka menerima kombatan dari pelbagai daerah. Imron yang ditugasi mengurusi segala keperluan mereka. Kamp mereka pun sudah dipersiapkan.

Santoso yang langsung memimpin tadrib. Mereka diajari menembak dengan M-16 dan pistol.

“Kami akan membagi para ihwan menjadi tiga regu. Ada yang belajar menembak, membaca peta dan latihan fisik. Ketiga regu akan bergiliran berlatih. Ini agar pelatihannya efektif,” ujar Santoso.

Sekarang, kelompok mereka bertambah kuat. Ada Jundi asal asal Tiwaa, Muhtar asal Poso Kota dan Ustadz Farhan dari Labuan, Donggala. Ada pula Bado yang biasa dipanggil Osama. Ia berasal dari Tamanjeka. Begitu pun Nasir yang berasal dari Tamanjeka, Muhrin dari Tambarana dan Azis dari Tamanjeka. Adapula lima orang di antaranya berasal dari Kalimantan.

“Ustadz Imron, Ustadz Ayas, Ustadz Fadil, Ustadz Yogi, ana minta untuk menjadi pelatih. Latih mereka sampai di batas kemampuannya. Ustad Fahri dampingi Ustadz Abu Autad untuk melatih para ikhwan membaca peta topografi,” perintah Santoso.

Tanpa berlama-lama, para pengawal Santoso itu pun bergerak. Aneka latihan fisik berupa bela diri, push up, roling dan lompat harimau harus dijalani para kombatan baru itu. Mereka pun diwajibkan mampu membaca peta topografi yang sudah disiapkan. Ada yang berlatih bongkar pasang senjata dan menembak. Mereka berlatih pada pukul 08.00 sampai 11.00 setiap hari. Malam hari, mereka