Setelah 1998, kehidupan di berangsur pulih dan tenang hingga kuartal pertama 2000.

Sayangnya, kejadian pada Minggu, 16 April 2000 sekitar pukul 22.15 Waktu Indonesia Tengah terjadi perkelahian antar pemuda. Seorang pemuda yang kebetulan beragama Islam dari Kelurahan Kayamanya bernama Dedy bersama dengan beberapa temannya terlibat perkelahian dengan seorang pemuda Kristen.

Meskipun sekedar peristiwa kriminal biasa, namun salah seorang tokoh masyarakat sudah mengingatkan bahwa bila lambat ditangani, ini akan melebar lagi.

Pernyataannya terbukti. Dampak perkelahian antara pemuda memicu penyerangan ke Kelurahan Lombogia, permukiman yang mayoritas dihuni oleh masyarakat Kristen di Poso Kota.

Dedy, pemuda yang terlibat perkelahian itu memprovokasi masyarakat dengan mengatakan bahwa tangannya telah terluka akibat diserang oleh pemuda Kristen. Provokasinya berbuntut panjang. Sekitar 25 orang warga dari Kelurahan Kayamanya menyerang Kelurahan Lombogia.

Bentrok antarmasa pun berlangsung hingga keesokan harinya, Senin, 17 April 2000. Kedua kelompok saling serang. Upaya meredakan situasi dan pencegahan keterlibatan massa dari luar Poso gagal dilakukan. Di siang hari rumah-rumah warga Lombogia dibakar. Sebelumnya barang-barang berharga milik warga dijarah. Rumah ibadah, dan beberapa gedung dibakar. Pertokoan dan sebuah bengkel Honda dijarah dan dibakar massa.

Personel Brimob Polda Sulawesi Tengah yang dikerahkan kewalahan mengendalikan massa. Mereka akhirnya bertindak keras. Dua warga dari Kayamanya, Mohammad Yusni (23) dan Yanto (13) tewas tertembak, delapan orang lainnya terluka, termasuk seorang pria bernama Rozal Machmud yang dilaporkan meninggal kemudian karena luka-lukanya.

Usai penguburan, massa yang tadinya mengikuti iring-iringan jenasah berbalik arah ke Kelurahan Lombogia. Mereka kemudian membakar rumah hunian sebanyak 127 rumah, dua rumah ibadah, gedung SD, SMP, dan SMU. Gedung Bhayangkari dan sebagian Asrama Polres Poso pun turut jadi korban. Warga di Kelurahan Lombogia, Kasintuwu dan sebagian Sayo mengungsi ke Kelurahan Madale, Dusun Kapompa, Lage, Tentena, Dusun Bukit Bambu dan sebagian ke Poso Pesisir.

Pada Selasa, 18 April 2000 kembali terjadi pembakaran dan penjarahan rumah-rumah warga Lombogia dan Kasintuwu. Sebuah rumah ibadah kembali dibakar.

Gubernur Sulawesi Tengah, H.B. Paliudju saat itu berupaya meredakan pertikaian dengan mengunjungi para pengungsi. Sayangnya, ia silap lidah. Di hadapan warga yang mengungsi di Tagolu, ia menyebut kerusuhan itu adalah kehendak Allah.

Entah siapa lagi yang menghasut, Pada Rabu, 19 April 2000 massa kembali menyerang dan membakar sisa-sisa rumah warga di Lombogia dan Kasintuwu. Ternyata itu dipicu kabar burung bahwa ada mayat seorang dari Kayamanya di tengah puing rumah warga yang terbakar di Lombogia.

Polisi berhasil memukul mundur massa ke arah Darussalam Kelurahan Sayo. Selesai sholat Jum'at, Bupati Muin Pusadan berusaha menenangkan massa dan menghimbau dihentikannya pertikaian.

Pada Kamis, 20 April 2000, penyerangan dan pembakaran rumah-rumah warga meluas. Tak hanya di Kelurahan Lombogia dan Kasintuwu, Tapi meluas hingga ke dusun Bukit Bambu Kelurahan Sayo.

Jumat, 21 April 2000, Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro, Panglima saat itu tiba di Poso. Ia memerintahkan aparat TNI dan Polri untuk membersihkan palang-palang dan pos-pos yang dibuat sebagai blokade oleh massa di beberapa lokasi di Poso. Situasi keamanan dapat dikendalikan dan pertemuan-pertemuan antara kelompok digelar.

Pemerintah Kabupaten Poso dalam laporannya menyebutkan akibat kerusuhan yang terjadi sejak 15 – 21 April 2000 mengakibatkan 37 orang meninggal dunia, 34 luka-luka, 267 rumah warga dan 3 rumah ibadah dibakar.

Laporan media menyebutkan 3 orang meninggal dunia, 4 orang luka-luka, 267 rumah terbakar, 6 mobil, 5 motor hangus, 3 Gereja hancur, 5 rumah asrama polisi hancur, ruang Bhayangkari terbakar. Kerugian materil ditaksir mencapai Rp.10 Milyar. Termasuk, ditahannya 21 orang yang diduga terlibat kerusuhan itu.

Hanya berselang dua minggu, amuk sosial kembali pecah pada Minggu, 16 April 2000. Keresahan masyarakat seiring dengan meningkatnya provokasi melalui selebaran-selebaran gelap yang berbunyi akan terjadi lagi penyerangan oleh salah satu kelompok yang bertikai. Warga mulai mengungsi ke Napu, Tentena dan Manado, Sulawesi Utara.

Jeda dari saling serang ternyata digunakan oleh kedua kelompok untuk konsolidasi. Indikasi itu dapat dilihat dari pengerahan massa Kristen dari Beteleme, Kolonodale, Kelei, Betue, Sangginora dan Tentena. Sedang di Kecamatan Parigi, massa Islam melakukan konsolidasi dengan memobilisasi anak muda dan berbagai bantuan logistik lainnya.

Didahului beragam isu provokatif, Pada Jumat, 19 Mei 2000 di Desa Taripa ratusan massa melakukan blokade dan pemeriksaan setiap kendaraan yang melintas di Jalan Trans Sulawesi itu. Warga yang mengungsi makin banyak.

Pada Selasa, 23 Mei 2000, delapan hari menjelang kenaikan Isa Almasih beredar informasi di kalangan warga Islam bahwa akan terjadi penyerangan oleh massa Kristen dari Tentena.

Pada saat bersamaan, Kapolres Poso melakukan pertemuan bersama dengan komponen masyarakat dan pemerintah daerah. Para pihak yang mengikuti pertemuan itu kemudian berusaha memastikan informasi tentang rencana penyerangan kepada unsur Tripika (Camat, Koramil, Kapolsek) di Tentena Pamona Utara. Jawaban yang diterima oleh Kapolres Poso dari unsur Tripika Pamona Utara bahwa tidak benar adanya konsentrasi massa di Tentena dan tidak benar akan ada penyerangan dari Tentena.

Yakin dengan laporan Tripika Pamona Utara, kemudian Kapolres Poso meminta Pemda untuk mengumumkan kepada masyarakat. Mobil penerangan yang berkeliling ke seluruh penjuru kota pada malam itu menginformasikan tidak benarnya rencana penyerangan ke Poso Kota. Masyarakat Kota Poso kemudian dapat tertidur pulas, percaya karena informasi itu disampaikan oleh Pemda sendiri.

Namun pada dini hari Rabu, 24 Mei 2000, muncul sekelompok massa yang tidak lebih dari 12 orang dengan menggunakan pakaian ala ninja di depan Pasar sentral Poso. Mereka bergerak menuju Kelurahan Kayamanya. Mereka menyebut kelompoknya ‘Pejuang Pemulihan Keamanan Poso'. Masyarakat termasuk wartawan dan peneliti menyebut kelompok ini sebagai ‘Pasukan Kelelawar'.

Kelompok ini dipimpin oleh Fabianus Tibo, Putra Flores, Nusa Tenggara Timur yang berdomisili di Desa Jamur Jaya. Mereka berhasil melewati tujuh pos penjagaan tanpa adanya perlawanan. Tidak satupun yang dilukai oleh pasukan ini karena mereka hanya mencari provokator pada kerusuhan April lalu.

Saat kelompok pimpinan Tibo ini menuju Panti Asuhan Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, seorang polisi, Serma Komarudin Ali yang berusaha mencegat dibunuh dengan tebasan parang di bagian tangan. Pistol yang digenggamnya hilang saat itu. Ketika memasuki Kelurahan Kayamanya, seorang warga bernama Abdul Syukur yang mencoba menghalangi pasukan ini dibacok dan terbunuh. Seorang mantan lurah, Ali Baba yang juga berusaha menghalau ikut dibunuh di Kelurahan Moengko Baru.

Kelompok Tibo ini kemudian dilaporkan bersembunyi di sebuah gereja Katolik di Kelurahan Moengko. Tibo serta yang lainnya justru melarikan diri ke perbukitan di belakang kompleks gereja. Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00 pagi dan pertempuran terjadi di seluruh kota, yang paling parah di Sayo, dimana sepuluh orang terluka terkena panah dan lemparan batu. Sejak saat itu, situasi keamanan di Poso kian tidak menentu. Apalagi pada Minggu, 28 Mei 2000 sejumlah warga yang mengungsi dari Desa Tabalu, Bega, Tiwaa, Tambarana, Kasiguncu dan Mapane Poso Pesisir melaporkan bahwa rumah mereka dijarah dan dibakar oleh massa yang menyerang sehari sebelumnya. Penyampaian warga kemudian disambut dengan kemarahan warga muslim lainnya yang tengah berkumpul di Pondok Pesantren Alkhairat.

Di hari itu juga, 28 Mei 2000, Tim Peneliti Universitas Tadulako dalam Laporan Serial Konflik Poso menyebut sejumlah 70 orang pengurus dan santri Pondok Pesantren Walisongo dibunuh. Anak-anak dan wanita yang belum sempat menyingkir mengalami perkosaan dan pelecehan seksual. Mayat-mayat mereka berserakan di Sungai Poso

Hingga awal Juni 2000, api amarah masih membara di Poso. Sepekan kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI membuka kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke–XI di Palu. Sementara, situasi Poso makin tak menentu.

Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro, Panglima Kodam VII Wirabuana – kini – menyebut amuk sosial pada 16 Mei – 5 Juni 2000 telah menelan korban jiwa sebanyak 112 orang.

Separuh waktu di tahun 2000 itu benar-benar menjadi tahun yang sangat menakutkan bagi warga Poso. Kerusuhan antar warga pada periode ini bisa dibilang yang paling massif. Sebanyak 685 rumah terbakar, tercatat 58.005 orang warga mengungsi kewilayah Sulawesi Tengah dan luar Sulawesi Tengah. ***

Referensi:

Brad Adams et al, 2002. Breakdown: Four Years of Communal Violence in Central Sulawesi, Indonesia (Report). New York City: Human Right Watch.

Aragon, Lorraine (2001). “Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People”. Indonesia. Southeast Asia Program Publications (72): 45–79. doi:10.2307/3351481. JSTOR 3351481. publikasi akses terbuka – bebas untuk dibuka. Hlm. 66

Mappangara, Suriadi, 2001. Respon Militer Terhadap Konflik Sosial di Poso (Laporan). Palu: Yayasan Bina Warga.

Syamsu Alam Agus, 2007. Konflik Poso 1998 – 2001: Potret Kegagalan Negara yang Terpelihara. Kertas Kerja tak diterbitkan.

https://web.archive.org/web/20121009053926/http://www.thejakartapost.com/news/2006/05/12/woman-recalls-murder-family-poso-massacre.html diakses 30 Agustus 2022.