Setelah keluar dari lorong batu yang hampir menjebak mereka, empat sekawan duduk di atas rumput hijau, mencoba menenangkan diri dan memulihkan tenaga. Matahari mulai tergelincir di balik puncak Gunung Keramat, menciptakan bayangan panjang yang membentang di hutan sekitarnya.
“Jadi, apa selanjutnya?” tanya Lili sambil memandang teman-temannya. “Kita punya peta baru ini… tapi ke mana kita harus pergi?”
Aria membuka kembali gulungan perkamen yang mereka temukan. “Lihat, ada simbol-simbol yang tidak ada di peta sebelumnya,” katanya sambil menunjuk beberapa tanda di sudut-sudut peta. “Mungkin ini adalah tempat-tempat penting yang harus kita kunjungi.”
Bayu memiringkan kepala, memeriksa peta dengan seksama. “Tapi, lihat di sini,” katanya sambil menunjuk sebuah tanda yang menyerupai lingkaran dengan garis-garis bergelombang di dalamnya. “Ini sepertinya menunjukkan sebuah mata air atau sungai.”
Nara tersenyum lebar. “Tentu saja! Ingat apa yang dikatakan lelaki tua itu tentang ‘kunci rahasia' dan ‘jalan yang murni'? Mungkin kita harus mencari sumber air suci atau sesuatu yang serupa.”
Lili menyipitkan mata, melihat ke arah hutan di depan mereka. “Tapi bagaimana kita menemukan tempat itu? Hutan ini sangat luas, dan kita bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.”
Aria berpikir sejenak. “Mungkin kita bisa menggunakan sungai kecil yang kita temukan sebelumnya sebagai petunjuk. Jika kita mengikutinya ke arah yang benar, mungkin kita akan menemukan mata air yang dimaksud.”
Bayu mengangguk. “Ya, dan peta ini juga menunjukkan jalur di sepanjang sungai. Mari kita coba. Kita harus bergerak cepat sebelum gelap sepenuhnya.”
Empat sekawan segera mengemas kembali perlengkapan mereka dan mulai bergerak menuju arah sungai yang mereka temukan kemarin. Udara sore terasa sejuk, dan suara gemericik air mulai terdengar semakin jelas saat mereka mendekati sungai.
Saat mereka mengikuti aliran sungai, mereka melewati hutan lebat dan medan yang berbatu. Aria memimpin dengan hati-hati, memperhatikan setiap perubahan arah air. Setelah berjalan selama beberapa jam, mereka tiba di sebuah tempat di mana aliran sungai tampak semakin deras dan lebar.
“Lihat, di sana!” seru Nara sambil menunjuk ke depan. “Ada air terjun kecil! Dan di belakangnya, ada semacam gua atau celah.”
Mereka semua segera mendekati air terjun itu. Percikan airnya membasahi wajah mereka saat mereka mencoba melihat lebih jelas ke arah celah di balik tirai air.
“Aku rasa ini dia!” kata Bayu penuh semangat. “Ingat, banyak legenda yang menyebutkan bahwa tempat-tempat tersembunyi selalu berada di balik air terjun.”
Aria tersenyum. “Bagaimana kalau kita masuk?”
Mereka mendekati celah tersebut, dan perlahan-lahan menyusup ke dalam gua di balik air terjun. Di dalam, suasana lebih gelap, dan suara air mengalir memenuhi telinga mereka. Namun, mereka bisa melihat dengan jelas bahwa gua ini tidaklah alami. Dinding-dindingnya dipahat dengan ukiran kuno yang serupa dengan yang ada di situs megalit.
“Lihat di sini,” bisik Lili sambil menunjuk ukiran di dinding. “Simbol-simbol ini sama seperti yang di peta!”
Nara meraba dinding gua dengan telapak tangannya. “Mungkin ada sesuatu di sini yang bisa membuka jalan berikutnya…”
Tiba-tiba, Aria merasa lantai di bawah kakinya sedikit bergetar. “Tunggu, aku merasakan sesuatu,” katanya sambil menekan lantai lebih kuat. Bayu segera membantunya, dan mereka berdua menemukan sebuah batu persegi yang bisa ditekan.
Dengan napas tertahan, mereka menekan batu itu bersamaan. Suara gemuruh pelan terdengar, dan sebuah pintu rahasia di dinding gua terbuka perlahan, mengarah ke lorong yang lebih dalam.
“Kita berhasil!” seru Bayu dengan antusias.
“Tidak ada waktu untuk menunggu,” kata Aria. “Mari kita masuk dan lihat apa yang ada di dalam.”
Mereka memasuki lorong itu, dan suasana menjadi semakin gelap dan dingin. Aria menyalakan senter kecil yang dibawanya, menerangi jalan mereka ke depan. Lorong itu terasa panjang dan berliku, dan suara langkah kaki mereka bergema di sekitarnya.
Ketika mereka akhirnya tiba di ujung lorong, mereka menemukan sebuah ruangan yang sangat luas. Di tengah ruangan, berdiri sebuah altar batu besar dengan ukiran yang jauh lebih rumit. Di atas altar itu, ada sebuah peti perunggu yang dihiasi dengan permata.
“Ini pasti tempatnya,” kata Nara dengan suara rendah. “Peti ini mungkin berisi sesuatu yang sangat penting.”
Bayu melangkah maju, tetapi sebelum ia bisa mencapai peti itu, terdengar suara yang sangat pelan dan serak. “Berhenti.”
Mereka semua menoleh, dan melihat seorang lelaki tua lain, lebih tua dari yang mereka temui sebelumnya, berdiri di sudut ruangan. Matanya tajam dan penuh kebijaksanaan, jubahnya panjang dan berwarna coklat tua.
“Kalian datang jauh-jauh ke sini, tapi apakah kalian siap menerima apa yang ada di dalam peti ini?” tanyanya dengan suara yang bergema di seluruh ruangan.
Aria menjawab dengan penuh keyakinan, “Kami hanya ingin menemukan kebenaran dan melindungi rahasia ini dari mereka yang berniat jahat.”
Lelaki tua itu tersenyum tipis. “Kalian memiliki keberanian dan niat baik, tapi rahasia ini… lebih dari sekadar misteri kuno. Itu adalah pengetahuan yang bisa mengubah nasib banyak orang, jika digunakan dengan benar… atau menghancurkan jika jatuh ke tangan yang salah.”
Lili menelan ludah, merasa sedikit gentar. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
Lelaki tua itu mendekat, matanya menatap tajam ke arah mereka. “Itu bukan keputusan saya. Tapi kalian sudah sampai di sini, jadi kalian berhak tahu. Bukalah peti itu, jika kalian berani.”
Bayu, dengan tangan bergetar sedikit, membuka penutup peti itu. Di dalamnya, mereka melihat sebuah benda berbentuk lingkaran kecil, terbuat dari emas dengan batu permata di tengahnya, dan di sekitar lingkarannya terdapat ukiran-ukiran yang sangat rumit.
“Ini dia,” bisik Nara. “Tapi… apa ini sebenarnya?”
Lelaki tua itu tersenyum lagi. “Itu adalah kunci menuju pengetahuan yang hilang. Sebuah artefak kuno yang bisa membawa kalian ke tempat di mana semua jawaban tersembunyi… atau membuka jalan ke bencana besar.”
Mereka semua terdiam, merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Mereka tahu bahwa keputusan besar harus diambil, dan pilihan mereka akan menentukan nasib situs megalit ini… dan mungkin lebih dari itu.
Bersambung ke Empat Sekawan dan The Shadow Seekers (7): Keputusan Besar di Ujung Petualangan