Jejak awal kelompok teroris Poso dimulai dengan terbitnya daftar pencarian orang (DPO) menjelang 1 Syawal 1427 H bertepatan dengan 23 Oktober 2006. Mabes Polri merilis sejumlah nama mujahiddin lokal atau Poso terkait kasus kekerasan dan terorisme.

Mestinya malam itu dipenuhi rasa suka cita menyambut hari kemenangan, namun yang terjadi sebaliknya. Malam takbiran di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Poso menjadi sebuah petaka.

Desingan peluru berseliweran bersama bunyi tiang listrik, sebuah isyarat warga bahwa situasi dalam keadaan bahaya. Malam itu polisi Poso terlibat baku tembak dengan warga.

Ada dua versi yang berbeda sekaitan dengan bentrokan berdarah yang merenggut satu korban jiwa dari pihak sipil itu. 

Investigasi KUAK (Kaukus Ummat Anti Kekerasan) yang dimotori Tim Pembela Muslim Poso menyebutkan anggota Brimob melakukan razia besar-besaran pada malam hari sekitar pukul 21.30 Wita. Daerah yang menjadi sasaran adalah di Jalan Pulau Jawa, Jalan Pulau Madura, Jalan Pulau Alor, Jalan Pulau Bali, Jalan Pulau Kalimantan dan Pulau Irian. Sepasukan polisi dan beberapa mobil truk Brimob dan panser (Barakuda) mulai mendekati Pondok Pesantren Putri Amanah di Jalan Pulau Irian.

Polisi kemudian melakukan pengepungan lokasi Ponpes Putri Amanah dari berbagai arah, sejumlah warga di sekitar pondok masih santai di masjid Al- Firdaus setelah selesai shalat isya berjemaah sambil menunggu informasi penetapan jatuhnya 1 Syawal 1427 H.

Warga gelisah setelah melihat sejumlah polisi dengan senjata lengkap memasuki jalan setapak menuju Tanah Runtuh. Melihat gelagat itu salah seorang warga melaporkannya ke mesjid Al-Firdaus.

Laporan tersebut ditindak lanjuti jemaah dengan melakukan pengecekan. Warga yang mengecek informasi masuknya pasukan Brimob ke Tanah Runtuh, tepatnya di lokasi Madrasah Ibtidiaiyah Negeri Poso, tiba-tiba dihujani tembakan senjata otomatis laras panjang. Warga kemudian memukul tiang listrik sebagai tanda bahaya yang diikuti oleh warga Gebang Rejo, Kayamanya, Bonesompe, Lawanga dan Sayo.

Warga Gebang Rejo mulai berdatangan ke lokasi suara tembakan, mereka berkumpul di depan Pos Polisi Masyarakat (Polmas) Tanah Runtuh dan di sepanjang Jalan Pulau Irian. Warga meminta perlindungan dari polisi yang ada di Pos Polmas itu. Namun ternyata, polisi itu tidak bisa memberikan perlindungan. Justru anggota Polisi yang ada di Pos Polmas melepas tembakan yang membuat warga marah dan mengepung Pos Polmas tersebut. Pada saat pengepungan tersebut massa membakar sebuah truk dan tiga unit motor milik Brimob.

Puluhan personil pasukan Brimob menyerbu ke Pos Polmas sambil melepaskan tembakan ke arah warga secara membabi-buta. Rentetan tembakan tersebut mengakibatkan rusaknya beberapa rumah warga dan jatuhnya korban yakni Syaifuddin (tewas) dan Rizki (luka berat). Kendaraan Panser yang dikerahkan Brimob berhasil mengeluarkan anggota polisi yang terkurung dalam Pos Polmas. Penembakan oleh pasukan Brimob juga terjadi di Kayamanya ketika warga memaksa ke luar menuju Tanah Runtuh. Akibatnya 2 orang mengalami luka tembak, yakni Aco (di bagian pantat) dan Bambang (di bagian betis dan dada).

Sementara versi polisi menyebutkan saat melaksanakan patroli dan razia di Jalan Pulau Irian ke PDAM dekat Tanah Runtuh, terjadi pengumpulan massa yang tidak jauh dari tempat razia dan menunjukkan gelagat antipati. Polisi melakukan razia ke wilayah Tanah Runtuh, karena daerah itu ditengarai sebagai wilayah tempat persembunyian sejumlah warga Poso yang diduga pelaku kekerasan Poso.

Kapolres Poso kala itu, AKBP Rudy Sufahriadi – saat tulisan ini dibuat adalah Irjen Pol dan menjabat Kapolda Sulteng, lalu mengerahkan satu regu anggota Brimob untuk membackup di sekitar lokasi razia, serta melaksanakan patroli yang tidak jauh dari lokasi tanah runtuh, Kapolres Poso juga menugaskan anggota Brimob untuk berpatroli di Jalan Pulau Irian dengan menggunakan kendaraan Barakuda dan truk sampai ke wilayah PDAM.

Versi Polisi menyebutkan dalam razia itu, warga lalu memukul tiang listrik sebagai tanda bahaya di sekitar Jalan Pulau Irian, Jalan Pulau Jawa dan PDAM sehingga warga berkumpul. Menurut versi polisi, warga melakukan penyerangan terhadap Pos Polmas Tanah Runtuh yang dijaga 16 personil Polres Poso. Pos tersebut dilempari batu, rentetan tembakan senjata otomatis dan bom sebanyak satu kali sehingga anggota Polmas yang sudah terkepung massa. Merasa terkepung polisi lalu meminta bantuan ke Mapolres Poso. Kapolres Poso mengirim satu kompi pasukan Brimob untuk mengevakuasi anggota polisi dari Tanah Runtuh.

Proses evakuasi berhasil dilakukan, namun seorang anggota Brimob bernama Brigadir Edi Purwanto terkena lemparan batu dan mengenai dahi sehingga mengalami luka-luka. Sebuah mobil truk Brimob dan 3 unit sepeda motor dibakar massa. Selain itu pos Polmas dirusak penyerang serta ban kendaraan barakuda kempes terkena tembakan penyerang.

Tercatat dari massa penyerang tertembak tiga orang, Jumaris, Kiki dan Syaifuddin alias Udin yang kemudian meninggal dunia. Dari massa penyerang diamankan beberapa orang, yaitu Rusli, Nasrul Yuda, Ramli Hi. Lami, Sunardi, Dirjan Galendo dan Anis Lahabu.

Terlepas versi warga atau versi polisi yang benar dalam insiden itu, yang jelas opini yang terbentuk di masyarakat menyudutkan institusi Polri karena pilihan waktunya yang kurang tepat, sehari menjelang perayaan idul fitri. Polisi pun dituding menodai kesucian hari raya Idul Fitri .

Ketua Forum Solidaritas Perjuangan Ummat Islam () Poso, Ustad Adnan Abdul Rahman Saleh (Arsal), menyuarakan penarikan seluruh pasukan Brimob dari wilayah Poso dalam tempo satu kali 24 jam. Pimpinan Ponpes Amanah ini juga mendesak Presiden Republik Indonesia membentuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) atas kasus Tanah Runtuh.

Saat itu, pembentukan TGPF juga disuarakan Poso Center, koalisi lebih 30 LSM yang getol mendesak pemerintah membentuk TGPF Poso guna mencari akar dan solusi permasalan di Poso secara menyeluruh.

Polri tidak tinggal diam menghadapi opini publik yang semakin menyudutkan institusinya. Brigjen Pol Anton Bachrul Alam yang saat itu menjadi Wakadiv Humas Mabes Polri harus pindah kantor sementara di Mapolres Poso dan Mapolda Sulteng.

Selasa malam, 31 Oktober 2006, Jenderal bintang satu ini mengumpulkan wartawan di Mapolres Poso. Ia mengumumkan 34 orang tersangka serangkaian kasus terror yang terjadi di Kabupaten Poso dan Kota Palu, sejak tahun 2001 hingga 2006.

Sebanyak 15 orang telah ditangkap dan saat ini ditahan di Mabes Polri, sementara 29 orang lainnya masih masuk dalam DPO. Para tersangka itu terlibat sedikitnya 13 kasus teror, di antaranya pembunuhan I Wayan Sumaryasa, wartawan Poso Post (2001), pembunuhan Pendeta Orange Tadjoja, bendahara GKST (2001), kasus mutilasi Kades Pinedapa (2003), peledakan bom di depan Pasar Sentral Poso yang menewaskan enam orang (2004).

Lainnya, kasus penembakan Jaksa Ferry Silalahi dan Pendeta Susianti Tinulele di Palu (2004), perampokan uang milik Pemda Poso sebesar Rp489 juta (2004), peledakan bom di Pasar Tentena yang menewaskan 22 orang (2005), kasus mutilasi tiga siswa SMU Kristen Poso (2005), serta sejumlah peledakan bom gereja di Palu dan Poso.

Tujuh dari 15 tersangka yang ditahan disebutkan masuk dalam , yaitu Hasanuddin, Poniren alias Ipong, Yusuf Asap, Haris, Irwanto Irano, Rahmat dan Sudirman.

Sementara delapan tersangka lainnya merupakan anggota kelompok Kompak Kayamanya yakni, Fadly Barsalin, Yusman Saidi, Syakur, Farid, Yusman Sahed, Iswandi Ma`ruf, Rusli Tawil dan Ifek.

Sebanyak 29 tersangka DPO diberi waktu 1×24 jam untuk menyerahkan diri, tokoh masyarakat dan keluarga DPO juga diminta membantu membujuk para DPO agar mau menyerahkan diri.

Sejak itu masyarakat disuguhi istilah baru dari konflik Poso, yaitu adanya DPO 39 orang yang diduga sebagai biang kekerasan Poso. Polisi sendiri dengan percaya diri menyakini 29 warga Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang sebagai pelaku sejumlah kekerasan di Poso dan Sulawesi tengah umumnya.

Sebuah sumber dari kalangan DPO menyebutkan tersangka Hasanuddin yang lebih dulu ditangkap polisi di Tolitoli akhir 2005, ‘bernyanyi' kepada polisi tentang adanya sekolompok warga yang berdiam di wilayah Gebangrejo sebagai pelaku kekerasan di Poso, Palu dan Donggala. Hasanuddin, kata sumber itu dikurung selama tiga hari disebuah hotel di Balikpapan, Kalimantan Timur sebelum diterbangkan ke Jakarta.

“Dia diinterogasi selama tiga hari di Balikpapan, dan menyebutkan orang-orang yang terlibat kekerasan di Poso,” kata sumber tersebut.

Tajwin Ibrahim salah seorang anggota TPM Poso berpendapat, bahwa pengumuman polisi terhadap warga Poso yang masuk dalam daftar DPO hanyalah sebagai alasan polisi untuk menghindari dosa-dosa polisi terhadap perisitiwa penodaan malam takbiran tersebut. Polisi, menurut Tajwin Ibrahim, sudah kasat mata melakukan pelanggaran HAM, karena polisi lalu mencari alasan yang tepat untuk melanjutkan operasinya di Poso.

“Pengumunan DPO bagi kami sangat mengejutkan karena tak pernah ada sejak adanya konflik Poso,” ujar Tajwin saat itu.

Pada saat itu juga penyebutan kelompok “Tanah Runtuh“ secara terbuka dilansir media massa. Sebelumnya pihak kepolisian Polri hanya menggunakan idiom “kelompok Hasanuddin”. Adapula yang menyebutnya secara umum sebagai

Pesan dibalik penyebutan Tanah Runtuh yang hendak disampaikan Bachrul Alam, bahwa operasi bersenjata yang dilakukan Polisi pada 22 Oktober 2007 sudah tepat sebab ditengarai masih ada orang-orang yang dicari bersembunyi di kawasan Tanah Runtuh.

Pengumuman Polri yang disampaikan Brigadir Jenderal Pol Anton Bachrul Alam – Wakadiv Humas Mabes Polri saat itu – hanya berselang dua hari dari aksi unjuk rasa 1000 ummat muslim kota Poso yang menuntut penarikan pasukan Brimob dan pembentukan TGPF. Dan sehari setelah Jusuf Kalla (Wapres saat itu – ed) berkunjung ke Palu guna bertemu tokoh masyarakat dan pemuka agama asal Poso. Kunjungan Wapres itu sendiri terkait dengan peristiwa 22 Oktober.

AJI Palu dalam Special Report Peristiwa 22 Januari 2007 di Poso mencatat; di Jakarta, pada 1 Nopember 2006, Menko Polhukam Widodo AS, mengeluarkan keputusan pembentukan TPF (Tim Pencari Fakta) untuk kasus Tanah Runtuh dengan anggota 11 (sebelas) orang yang terdiri dari unsur Pemerintah, Polri, TNI, MUI Pusat, PP Muhammadiyah dan MUI Poso. Sebagai Ketua TPF adalah Drs Budi Utomo (Deputi Menko Polhukam) dan anggota dari MUI Poso adalah Yahya Mangun.

Hasil TPF Tanah Runtuh menyatakan; tidak ada pelanggaran prosedural dalam operasi bersenjata 22 Oktober 2006. TPF hanya menelorkan serangkaian rekomendasi yang di antaranya meminta penyelesaian kasus Poso sebaiknya mengendepankan pendekatan persuasif.

Budi Utomo (Ketua TPF) dalam paparannya di hadapan anggota Muspida Sulteng dan Poso, serta tokoh masyarakat Poso, 13 Desember 2006, menyebutkan rekomendasi TPF bahwa perlunya terus dibangun komunikasi dan interaksi positif antara masyarakat dan aparat; penugasan aparat BKO difokuskan pada upaya cegah dini dan pengamanan terhadap kemungkinan terulangnya konflik horisontal serta membangun kepercayaan kepada semua pihak; melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terhadap masyarakat yang terlibat maupun kepada aparat terkait.

Banyak kalangan menganggap keputusan ini adalah sebuah rekomendasi yang agak aneh karena dua tahun belakangan setelah itu, konflik Poso tidak lagi melibatkan dua komunitas (muslim – kristen) tapi hanya sekelompok kecil warga yang melakukan kekerasan.

Rekomendasi lainnya, BKO Poso masih diperlukan namun dipertimbangkan untuk menggunakan satuan organik Polda Sulteng dengan cara memperbesar kemampuannya; penanganan DPO dilaksananakan di Palu dengan disertai pendamping dari pengacara serta menghindari pemeriksaan dengan kekerasan.

Materi paparan hanya disampaikan secara garis besar sehingga para tokoh yang hadir tidak bisa mengetahui secara utuh hasil temuan TPF.

Sepekan setelah Polri mengumumkan ke 29 DPO, tak seorangpun DPO yang menyerahkan diri, operasi penangkapan dipersiapkan. Brigjen Pol Badrodin Haiti yang saat itu menjadi Kapolda Sulteng, memimpin langsung rapat pemantapan penangkapan para tersangka DPO tersebut di Mapolda Sulteng.

Namun, operasi penangkapan urung dilakukan setelah ada permintaan dari tokoh muslim Poso kepada Kapolri agar batas waktu penyerahan diri DPO diperpanjang hingga 24 Nopember 2006.

“Sebenarnya batas waktu dari Polda sudah habis. Begitu mau menangkap, mereka (tokoh masyarakat) meminta perpanjangan ke Mabes, di Mabes dikasih lagi, bukan seminggu, tapi sampai Jumat 24 November 2006,” ujar Anton Bachrul Alam saat itu.

Upaya persuasif mulai membuahkan hasil. Andi Ilalu alias Andi Bocor, satu dari 29 warga Kabupaten Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polda Sulteng menyerahkan diri, Selasa, 14 November 2006, Andi Lalu terlibat dalam kasus penembakan di Desa Landangan, Kecamatan Poso Pesisir. Namun, empat hari kemudian, polisi melepas Andi Bocor, walaupun polisi berhak menahan selama tujuh hari. Ia tetap berstatus tersangka dan dikenai wajib lapor.

Setelah Andi Bocor dilepas, dua DPO yang diduga terkait dalam kasus perampokan uang Pemda Poso pada tahun 2005, yaitu Iswanto alias Ateng Marjo (30) dan Abdul Nasir (23) menyerahkan diri pada 28 November 2006 atau sepuluh hari setelah Andi Bocor dilepas.

Selama sepekan, Ateng dan Nasir menjalani pemeriksaan di Mapolda Sulteng. Lalu diizinkan pulang karena keduanya dinilai kooperatif dan adanya jaminan dari pihak keluraga.

Syahril Lakita alias Ayi dan Taufik alias Upik Kokom mengikuti langkah ketiga rekannya mereka untuk menyerahkan diri. Ayi yang juga tersangka kasus perampokan uang Pemda Poso diserahkan ke polisi oleh kelurganya di Hotel Wisata Poso pada 6 Desember 2006. Sementara Upik Kokom yang menjadi tersangka peledakan bom GOR Poso tahun 2004 menyerahkan diri ke Mapolda Sulteng pada 7 Desember 2006. Dengan alasan yang sama, Ayi dan Upik juga diizinkan pulang.

Setelah penyerahan diri Ayi dan Upik, tak ada tanda-tanda 24 DPO lainnya akan menyerahkan diri, sekalipun upaya persuasif masih terus dilakukan dengan dimediasi Adnan Arsal dan anggota TPM Sulteng. 

Dalam rentang waktu November hingga Desember 2006 terjadi serangkaian aksi kekerasan berupa peledakan bom dan rentetan tembakan. Polisi menuding para DPO berada dibalik aksi teror tersebut.

Hingga 9 Januari 2007, DPO sejumlah yang rencananya menyerahkan diri batal terlaksana. Operasi penangkapan/upaya paksa akhirnya dilancarkan pada 11 Januari 2007 di rumah milik Sukardi alias Gawo di Jalan Pulau Jawa II Kelurahan Gebang Rejo. Operasi itu melibatkan pasukan brimob dan Densus 88 Antiteror.

Operasi yang berlangsung pagi hari itu menewaskan Ustadz Rian dan Dedy Parsan, 28, salah seorang dari 24 DPO. Sementara yang terluka adalah Anang Muhtadin alias Papa Enal, Upik Pagar, Abdul Muis, Ustadz Ibnu dan Paiman alias Sarjono.

Dalam Insiden itu, polisi berhasil menyita tiga bom rakitan, lima pucuk senjata organik terdiri dari empat jenis revolver dan satu pucuk SS1, 13 senjata rakitan serta 380 butir amunisi di rumah kosong di samping rumah Basri.

Pasca penggrebekan ketika itu situasi di kota Poso, khususnya di Tanah Runtuh mencekam. Sepanjang malam nyaris tak pernah sepi dari suara tembakan. Puncaknya operasi bersenjata 22 Januari 2007 yang dilakukan polisi mendapat perlawanan sengit dari kelompok DPO bersenjata. Peristiwa ini menjadi catatan tersendiri bagi Komnas HAM, sehingga pada saat Badrodin Haiti diangkat menjadi Wakapolri pada 4 Maret 2014, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) memprotes penunjukan itu. Menurut mereka Badrodin melanggar HAM pada saat penyerangan di Kelurahan Gebangrejo pada 22 Januari 2007. Mereka membeberkan fakta bahwa penyerbuan itu melibatkan kekuatan 500 personel. Mereka terdiri dari Brimob Polda Sulteng dan Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri. 

Saat itu, menurut Polri warga melakukan perlawanan terhadap aparat. Mereka menggunakan senjata api jenis M16 dan M43. Akibatnya, satu orang anggota Brimob, yakni Briptu Roni Iskandar tewas dengan luka tembak di kepala. Selain Roni, ada pula lima anggota Brimob lain yang tertembak namun hanya mengalami luka-luka. Sementara korban di pihak sipil mencapai 13 orang dan puluhan lainnya luka-luka. 

Usai penyerbuan 22 Januari 2007, konflik Poso memasuki fase lanjutan di mana tak ada lagi konflik sosial komunal, tetapi konflik antara mujahiddin lokal dengan aparat keamanan. Aparat menyebut mereka kelompok teroris Poso. *** 

Disklaim: Operasi penindakan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) sudah usai. Tak ada lagi pengerahan personel polisi dan tentara yang masif. Rangkaian tulisan ini adalah bagian dari buku: Poso di Balik Operasi Madago Raya. Catatan ini tak dimaksudkan untuk membuka luka lama amuk sosial di Poso, tapi sekadar menjadi referensi historik.