Kota Omega, Tahun 3117. Pasca Perang Nuklir. Langit malam tidak pernah gelap. Ia digenangi cahaya neon jingga, hijau racun, dan merah yang tak pernah padam. Hujan asam turun perlahan dari kubah atmosfer yang rusak, menetes di antara kabel listrik, jembatan gantung, dan kaca-kaca retak apartemen tua. Aroma logam terbakar dan zat kimia sintetis membubung, menyelimuti Distrik Delta.
Dan malam itu, seseorang turun dari langit bercahaya itu.
Empat pria bersenjata berjaga di luar gudang tua di pinggir kanal. Mereka tertawa kasar, menghirup asap Vanta-X dari tabung kecil berbentuk kapsul ular. Di dalam gudang, lebih dari seratus tabung siap dikirim keluar. Beberapa bocah jalanan tampak meringkuk, mulut berbusa, kelinci percobaan, kata mereka.
Lalu, salah satu penjaga mendongak.
Suara logam bergesekan di atap. Lampu-lampu padam sejenak.
“Apa itu?” seru salah satu dari mereka. Ia menyorot ke atas.
Namun bayangan itu sudah turun, membelah atmosfer yang pekat.
Terdengar dentuman, lalu cahaya merah menyambar. Satu penjaga terlempar menabrak dinding. Yang lain mencoba menembak, tapi senjatanya dicabik magnetik. Sosok berzirah baja mendarat dengan dentuman berat, kepalanya tertutup helm logam berbentuk V, matanya menyala biru.
Nevara telah datang.
Yang terakhir berusaha lari, tapi dihantam punggung. Seketika, tubuhnya terhempas seperti boneka kain. Di tangan kanan Nevara, sebuah tongkat teleskopik mekar, dan membelah udara seperti kilat.
Di dalam gudang, para pengedar mulai panik.
“Alarm! Alarm! Ada penyusup!”
Tapi tak ada waktu. Lampu-lampu padam. Kilatan biru muncul di antara lorong. Bom asap dilempar, menciptakan kabut pekat. Satu per satu, mereka jatuh. Tanpa suara. Tanpa peluru.
Sampai akhirnya hanya tersisa satu.
Pemimpin operasi malam itu, Kalt Reno, bekas militer, kini buron kriminal. Ia mundur, tangan gemetar, menodong senapan otomatis ke arah kabut.
“Aku kenal kau…! Kau itu… kau cuma legenda! Nevara itu fiksi!”
Suara berat menjawab dari balik asap.
“Bukan legenda. Aku pengingat. Bahwa kejahatan tak pernah bebas begitu saja.”
Kilatan merah menyambar. Senapan terpotong dua.
Reno merintih, memohon. Tapi yang datang hanya tinju baja menghantam rahangnya. Gelap.

Di Menara Administratif Omega, lampu holografik menyala lembut. Di ruangan kaca lantai 98, Komisaris Levan Serou berdiri di depan Wali Kota Grahn Vervault. Wajah Levan gelap, namun tenang.
“Sudah kubilang. Vanta-X bukan sekadar narkoba. Ini senjata.”
Wali Kota Grahn memutar matanya, mengangkat gelas anggur sintetis.
“Dan sudah kubilang, Komisaris, kita tak punya bukti cukup. Lagipula, Vanta-X mengendalikan rakyat lebih efektif ketimbang polisi.”
“Rakyat? Mereka anak-anak! Mereka mati perlahan!”
Grahn tertawa sinis. “Dunia ini sudah mati sejak dua abad lalu. Kita hanya mengatur reruntuhannya.”
Levan mengepalkan tangan. Tapi ia tahu, berbuat lebih berarti kehilangan jabatannya—atau nyawanya.

Di Apartemen Tua Distrik Beta, lampu berderak. Rhea Serou, putri Levan, duduk di dekat jendela sempit. Matanya menerawang ke arah barat kota. Di kejauhan, api berkobar di Distrik Delta. Drone polisi terbang melintasi langit. Tapi di antara kabut dan kilatan listrik, ia melihatnya…
Sebuah bayangan meloncat dari satu atap ke atap lain. Gerakannya seperti burung besi. Sekilas, hanya sekilas… ia melihat bentuk helm itu. Siluet dada baja, gerakan penuh dendam. Jantungnya berdebar keras.
Dan untuk pertama kalinya, ia berbisik lirih:
“…Cael?”
Di ruang tersembunyi bawah tanah, Nevara menarik napas panjang. Ia duduk di atas kotak peti tua, melepaskan helmnya perlahan. Asap dari luka bakar mengepul di bahunya. Wajahnya, penuh luka masa lalu. Di layar kecil holografik, data-data tentang Dr. Voro dan Iron Howl terus bergulir.
Di dinding, sebuah foto lama tertempel. Foto keluarga. Seorang anak lelaki dan seorang kakak lelaki, berdiri di antara ayah dan ibu.
Cael menatapnya.
“Waktuku hampir habis,” gumamnya.
Ia meraih kapsul kecil dari saku, sisa Vanta-X. Ia tak pernah memakainya. Tapi ia tahu…tubuhnya mulai rusak.
Ia melihat ke atas. Di luar sana, Kota Omega masih menyala dalam kegelapan.
“Tunggu aku, Rhea.”
Lampu ruangan padam. Suara mesin berputar. Layar menampilkan satu pesan berkedip:
TARGET BERIKUTNYA: DR. VORO SAHL >> LOKASI: TAK TERDETEKSI…
