Di awal-awal Kemerdekaan Indonesia, wilayah Poso mendapat perhatian penuh dari Bung Karno. Dinamika sosial politik di Kota Ebony itu membuat Bapak Proklamator Kemerdekaan RI harus menyempatkan diri berkunjung.
Bung Karno tahu bahwa Poso menjadi salah satu daerah yang masih mendapat pengaruh kuat Belanda. Bagi Bung Karno Poso adalah kota yang strategis bagi masa depan keberlangsungan RI. Olehnya, ia mau masyarakatnya bisa berpihak pada Republik Indonesia yang masih berusia muda itu.
Harapannya tak sia-sia. Pada Jumat, 4 April 1952, saat Bung Karno berpidato di Lapangan Kasintuvu, Poso Kota, ribuan orang datang menyemut. Putra Sang Fajar itu yakin, masyarakat Poso telah menunjukkan kesetiaan dan kecintaannya pada Republik yang masih berumur muda kala itu.
Sungguh, Poso telah menarik hati ayah kandung Megawati Soekarno Putri, Presiden ke-5 RI dan Ketua Umum PDI Perjuangan ini.
Poso merupakan ibu kota Kabupaten Poso. Posisinya, terletak di tengah Pulau Sulawesi, di pesisir Teluk Tomini, dan menjadi kota pelabuhan dan perhentian utama di pesisir tengah bagian selatan Teluk Tomini.
Kota Poso dilewati oleh Sungai Poso yang mengalir dari Danau Poso di kecamatan Pamona Puselemba. Kota ini merupakan aglomerasi dari tiga kecamatan, yaitu Poso Kota bersudara.
Pada 2021, penduduk Kota Poso dari tiga kecamatan yakni, Poso Kota 24.145 jiwa, Poso Kota Utara 12.930 jiwa 10.402 dan Poso Kota Selatan berjumlah 10.402 jiwa. Sementara, pada 2021 total jumlah penduduk di Kabupaten seluas 7.112,25 kilometer ini sebanyak 248.325 jiwa. Adapun pemeluk Kristen sebesar 60,80 persen, terdiri dari Protestan sebanyak 59,45 persen, dan Katolik sejumlah 1,35 persen, lalu Islam 33,60 persen dan Hindu 5,60 persen.
Pada mulanya penduduk yang mendiami daerah Poso berada di bawah kekuasaan Pemerintah Raja-Raja yang terdiri dari Raja Poso, Raja Napu, Raja Mori, Raja Tojo, Raja Una Una dan Raja Bungku yang satu sama lain tidak berhubungan.
Keenam wilayah kerajaan tersebut di bawah pengaruh tiga kerajaan, yakni: Wilayah Bagian Selatan tunduk kepada Kerajaan Luwu yang berkedudukan di Palopo, sedangkan Wilayah Bagian Utara tunduk di bawah pengaruh Raja Sigi yang berkedudukan di Sigi (Daerah Kabupaten Donggala) dan khusus wilayah bagian Timur, yakni daerah Bungku termasuk daerah kepulauan tunduk kepada Raja Ternate.
Sejak 1880 Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Bagian Utara mulai menguasai Sulawesi Tengah dan secara berangsur-angsur berusaha untuk melepaskan pengaruh Raja Luwu dan Raja Sigi di daerah Poso.
Pada 7 Maret 1908, Kerajaan Lage atau Poso menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) dengan Belanda. Talasa sebagai Mokole Lage untuk Landscape Lage dan wakil dari pihak pemerintahan Hindia Belanda pemegang kuasa Kerajaan Belanda adalah J.B van Heutszs.
Pada tahun 1918, seluruh wilayah Sulawesi Tengah semuanya telah dikuasai oleh Hindia Belanda, sebagian masuk wilayah Makassar sebagai bagian dari Oost Celebes dan lainnya masuk Keresidenan Manado.
Wilayah Poso pada kurun waktu 1905-1918 terbagi dalam dua kekuasaan pemerintah, sebagian masuk wilayah Keresidenan Manado, yakni Onderafdeeling (kawedanan) Kolonodale dan Bungku, sedangkan kedudukan raja-raja dan wilayah kekuasaanya tetap dipertahankan dengan sebutan Self Bestuure-Gabieden (wilayah kerajaan) berpegang pada peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda yang disebut Self Bestuure atau Peraturan Adat Kerajaan (hukum adat).
Pada tahun 1919 seluruh wilayah Poso digabungkan dan dialihkan dalam wilayah Keresidenan Manado di mana Sulawesi tengah terbagi dalam dua wilayah yang disebut Afdeeling, yaitu: Afdeeling Donggala dengan ibu kotanya Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibu kotanya kota Poso yang dipimpin oleh masing-masing Asisten Residen. Afdeeling Poso terdiri atas Poso dengan ibu kota Poso
Parigi dengan ibu kota Parigi, Kolonedale dengan ibu kota Kolonedale, dan Banggai dengan ibu kota Banggai
Pada 1924, Belanda membentuk Government Celebes en Onderhoorigheden, yang mengatur Poso meliputi kerajaan Poso, Tojo Una-una, dan Lore.
Sejak 2 Desember 1948, Daerah Otonom Sulawesi Tengah terbentuk, meliputi Afdeeling Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibu kotanya Poso yang terdiri dari tiga wilayah Onder Afdeeling Chef atau lazimnya disebut pada waktu itu Kontroleur atau Hoofd Van Poltselyk Bestuure (HPB).
Pada 1949, setelah realisasi pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah disusul dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Tengah.
Pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah merupakan tindak lanjut dari hasil Muktamar Raja-Raja se-Sulawesi Tengah pada tanggal 13-14 Oktober 1948 di Parigi yang mencetuskan suara rakyat se-Sulawesi Tengah agar dalam lingkungan Pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT). Sulteng kemudian dapat berdiri sendiri dan ditetapkanlah Rajawali Pusadan, Ketua Dewan Raja-Raja sebagai Kepala Daerah Otonom Sulawesi Tengah.
Selanjutnya, dengan melalui beberapa tahapan, Sulawesi Tengah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Tengah yang dipimpin oleh A.Y. Binol pada tahun 1952 dikeluarkan PP No. 33 Tahun 1952 tentang pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah yang terdiri dari Onder Afdeeling Poso, Luwuk Banggai dan Kolonodale dengan ibu kotanya Poso dan daerah Otonom Donggala meliputi Onder Afdeeling Donggala, Palu, Parigi dan Toli Toli dengan ibu kotanya Palu.
Pada 1959 berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 Daerah Otonom Poso dipecah menjadi dua daerah kabupaten, yakni Kabupaten Poso dengan ibu kotanya Poso dan Kabupaten Banggai dengan ibu kotanya Luwuk.
Jauh waktu sebelumnya, pada 1892, misionaris Belanda bernama Albertus Christiaan Kruyt tiba di Poso untuk menjalankan misinya. Saat itu, penduduk yang telah menetap berada di daerah Sayo (sekarang di Kelurahan Sayo) yang merupakan tempat pendaratan perahu dari muara Sungai Poso.
Pada 5 September 1894, keadaan sempat tidak aman akibat perseteruan antar suku. Ini membuat Kruyt meminta Pemerintah Hindia Belanda untuk mengatasi keadaan dan menempatkan aparatnya di daerah Poso.
Saat itu Poso dipimpin oleh kontrolir wilayah Teluk Tomini bagian selatan yang berkedudukan di Mapane. Kontrolir atau Controleur adalah pegawai atau pejabat pemerintah Hindia Belanda yang kedudukannya di bawah asisten residen
Pada 1 Maret 1895, kedudukan kontrolir dipindahkan ke wilayah Kota Poso saat ini. Waktu pemindahan kontrolir inilah yang ditetapkan sebagai hari lahir Kota Poso.
Kota ini mulai berkembang sebagai kota pelabuhan kecil di mulut Sungai Poso pada akhir abad ke-19. Ini menjadikannya sebagai salah satu kota tertua di Sulawesi Tengah, dan merupakan salah satu kota penting bagi Belanda untuk mengontrol wilayah selatan Teluk Tomini pada awal kedatangan mereka. Poso adalah pusat pemerintahan dari Landschap Poso, Onderafdeling Poso, dan Afdeling Poso pada zaman kolonial.
Selain pernah dikuasai Belanda, pada pertengahan Perang Dunia II, Jepang menjadikan Poso sebagai salah satu tangsi militer mereka. Poso sempat menjadi ibu kota Sulawesi Tengah pada tahun 1948, sebelum dipindahkan ke Palu.
Dilayani oleh Bandar Udara Kasiguncu, Poso terhubung melalui udara dengan kota-kota lain di Indonesia seperti Palu dan Makassar. Posisi Poso yang terletak di tengah, dan dilalui oleh Jalan Nasional Trans Sulawesi yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan antar provinsi di pulau Sulawesi, membuat kota ini menjadi pusat perhentian baik dari utara maupun selatan, atau dari barat dan timur Sulawesi. Alasan ini pula yang membuat penduduk Poso terdiri dari berbagai jenis suku, agama, dan latar belakang.
Di Kota Poso, ekonominya ditopang sektor perdagangan dan jasa. Sementara di pedesaan, ditopang oleh pertanian, perkebunan dan peternakan. Saat ini, Kabupaten Poso terdiri dari 19 kecamatan, 28 Kelurahan dan 142 Desa.
Di luar kabar amuk sosial 1998 – 2000-an dan mencuatnya kasus radikalisme serta terorisme, Poso menyimpan potensi pariwisata yang tak kalah menariknya dari daerah lain di Indonesia. Bentang alam pegunungannya memesona. Panorama pantainya memanjakan mata. Belum lagi kekayaan antropologi dan budayanya.
Di antaranya semisal Danau Poso. Danau yang terletak di Kota Tentena, Kabupaten Poso ini adalah danau terbesar ketiga di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatra Utara dan Danau Singkarak di Sumatra Barat. Danau ini terletak di ketinggian 657 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas 32 ribu hektare dengan kedalaman mencapai 510 meter.
Tak jauh dari Danau Poso, ada Air Terjun Saluopa. Ini biasa juga dikenal dengan sebutan air luncur yang berada di Desa Tonusu, Kecamatan Pamona Utara. Berkunjung ke air terjun ini akan memberikan pemandangan alam yang indah dan suasana yang tenang serta asri. Apalagi lokasinya juga berada di tengah hutan tropis yang penuh dengan pepohonan lebat.
Lalu ada beberapa situs megalitik di Lembah Pekurehua. Dua di antaranya adalah Pokekea dan Tadaluko. Berlokasi di padang ilalang yang dikelilingi perbukitan dan hutan lindung Taman Nasional Lore Lindu, kedua situs ini memiliki sebaran peninggalan megalitik yang sangat banyak. Mulai dari kalamba, arca batu, dakon, umpak batu dan lain-lain.
Sedangkan tinggalan budayanya yang terkenal, salah satunya adalah Pekasiwia. Ritual adat Poso dalam penyambutan tamu inilah yang digelar saat menyambut Bung Karno, Presiden Pertama RI pada 127 tahun silam. ***