Seperti juga suku-suku lain di Indonesia, warga Poso memiliki sesanti yang menjadi perekat adat budayanya. Mereka menyebutnya sebagai Sintuwu Maroso.
Sesanti ini berasal dari Bahasa Bare'e dan Pamona, bahasa ibu utama masyarakat Poso, baik di pesisir maupun di pedalaman.
Sintuwu bermakna bersatu, seia sekata, dan sepakat; Sedangkan Maroso bermakna kuat, kokoh, dan teguh.
Masyarakat Poso meyakini, apabila mereka sudah seia sekata dan bersatu, maka kehidupan akan menjadi teguh, kuat, dan kokoh. Olehnya, makna Sintuwu Maroso berlaku universal. Tak cuma untuk orang per orang atau kelompok tertentu.
Secara formal berdasar Perda Tingkat II Poso Nomor 43 tahun 1967, sesanti Sintuwu Maroso dilekatkan pada logo Kabupaten Poso. Semboyannya dituliskan di atas pita melengkung di dalam perisai logo itu. Itulah sebabnya, Poso juga dikenal sebagai Bumi Sintuwu Maroso.
Saat terjadi amuk sosial di wilayah yang juga dikenal sebagai Kota Ebony itu, khalayak sontak terkejut. Bagaimana mungkin daerah yang dikenal rukun dan toleran itu diamuk api amarah yang kian membesar dan tak berkesudahan.
Berawal pada Kamis, 24 Desember 1998 malam. Di tahun itu, Puasa Ramadhan tiba bersamaan dengan rangkaian perayaan Natal.
Surat Kabar Mingguan Alkhairaat, 1999, menulis saat itu, dua pemuda tanggung, yakni Roy Runtu Bisalembah yang kala itu berusia 18 tahun, dan Stanly Langingi berusia sepantaran hendak meminjam obeng. Lantaran sepeda motor mereka mogok di Kelurahan Sayo Bawah. Mereka hendak meminjam obeng pada pemuda yang kebetulan berada di kompleks Masjid Darussalam. Namun, pemuda tersebut mengatakan tak punya obeng.
Roy yang kabarnya di bawah pengaruh minuman keras, menampar Ahmad Ridwan, yang kebetulan Ketua Remaja Islam Masjid Darussalam, Sayo. Setelahnya mereka pergi.
Pada dinihari 25 Desember 1998, Roy yang kali ini ditemani Elvis kemudian datang lagi ke kompleks Masjid Darussalam. Mereka mencari Ahmad Ridwan. Tiba-tiba, saat Ahmad Ridwan unjuk diri, Roy pun menebasnya. Anak muda itu pun menangkis tebasan tadi dengan kanannya, dan terluka parah.
Beberapa anak muda yang memang sedang bermalam di Masjid kemudian melawan. Kedua pemuda yang menyerang tadi pun melarikan diri.
Di akhir tahun itu juga, Kabupaten Poso tengah menjelang pergantian Bupati. Pra kondisinya sudah terjadi. Masing-masing orang punya jago masing-masing, Tentu saja, umat Kristiani menjagokan calon yang seagama dengan mereka. Begitu pun adanya umat Islam.
Dan, entah siapa yang mulai memancing di air keruh, mobilisasi massa sudah mulai terlihat. Kalangan pemuda muslim dari Desa Tokorondo Kecamatan Poso Pesisir, Kelurahan Kayamanya dan umumnya mereka yang berada di Poso Kota sudah bersiap-siap. Dari kalangan Kristen begitu pun adanya. Herman Parimo, seorang tokoh masyarakat Kristen memimpin massa menuju Kota Poso.
Tanda-tanda akan terjadinya kerusuhan dalam skala besar mulai muncul. Seusai Shalat Jum'at, 25 Desember 1998, massa yang dimobilisasi dari Poso Pesisir menyerang dan melempari Toko Lima yang diduga sebagai tempat penjualan minuman keras. Massa terus bergerak melakukan sweeping dan menghancurkan tempat-tempat hiburan seperti bilyar, panti pijat dan hotel-hotel.
Massa menganggap sasaran mereka itu yang telah menjadi pemicu pembacokan Ahmad Ridwan. Mereka menganggap hal itu menodai kesucian Ramadhan.
Melihat kebrutalan massa, sejumlah warga Kelurahan Sayo melaporkan ke Polisi namun tidak terlihat tindakan pencegahan. Akhirnya rumah Roy Bisalemba yang terletak di Jl. Yos Sudarso, Kelurahan Sayo hancur karena amukan massa penyerang.
Sabtu, 26 Desember 1998 suasana semakin mencekam. Saling serang antar massa tak terhindarkan. Jembatan Poso Kota menjadi tempat bentrokan kedua massa. Mereka menggunakan parang, panah ikan, batu dan balok.
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso mengambil sikap. Bertempat di Gedung Torulemba, rumah jabatan Bupati Poso pada Minggu, 27 Desember 1998 kedua pihak yang bertikai dipertemukan. Tokoh agama yang mewakili pihak yang bertikai turun ke kantong-kantong konsentrasi massa untuk mengumumkan hasil pertemuan damai yang baru saja disepakti.
Ditegaskan; ”Siapa saja dari kedua kelompok yang mewakili dua keyakinan Islam dan Kristen yang menyulut pertikaian akan ditindak tegas.”
Sayang, usaha itu sia-sia. Di hari yang sama massa dari Lage dan Tentena yang dipimpin oleh Herman Parimo memasuki Poso Kota. Mereka menyerang dan merusak rumah-rumah penduduk di Kelurahan Sayo. Bumi Sintuvu Maroso benar-benar dibakar amarah.
Merujuk pada catatan Syamsu Alam Agus, seorang pegiat perdamaian dan kemanusiaan di Poso, pada Senin, 28 Desember 1998, Herman Parimo dan ratusan massa dari arah Lage dan Tentena kembali memasuki Poso. Blokade polisi gagal menghalau ratusan massa yang terus bergerak ke arah Poso Kota.
Di saat yang sama, massa dari Kelurahan Kayamanya, Lawanga dan Parigi yang jumlahnya mencapai ribuan orang menumpang puluhan truk pick-up dan perahu motor terkonsentrasi di Kota Poso. Mereka berhasil menghalau pergerakan massa yang dipimpin oleh Herman Parimo.
Pada Selasa, 29 Desember 1998, situasi Kota Poso berangsur pulih. Puluhan Polisi bersenjata lengkap dan masyarakat membuat penjagaan disetiap sudut-sudut kota.
Namun masyarakat masih diresahkan dengan beredarnya selebaran yang berjudul Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso bertanggal 24 -28 Desember 1998. Selebaran itu berisi nama-nama tokoh kedua pihak yang bertikai, mereka adalah Herman Parimo (Kristen) dan Abdul Azis Lapatoro (Islam).
Belakangan diketahui setelah Laboratorium Forensik Polri di Makassar melakukan penelitian ternyata pembuatnya adalah Drs. Agfar Patanga, Kepala Bidang Sosial Budaya Badan Pembangunan Daerah, Kabupaten Poso. Ia adik kandung dari Arif Patanga, Bupati Poso kala itu.
Rabu, 30 Desember 1998, situasi Poso dapat dikatakan aman. Aktifitas perekenomian warga di Pasar Sentral Poso yang terletak di jantung Kota Poso kembali berjalan lancar. Herman Parimo dan 7 orang lainnya ditangkap polisi dengan tuduhan provokator.
Akibat dari amuk massa pada 1998 itu, sebanyak 17 warga mengalami luka berat, 139 luka ringan, 15 orang di antaranya adalah anggota TNI. Selain itu, 158 rumah penduduk dibakar, 100 rumah dirusak massa, 14 mobil dan 20 kendaraan roda dua dibakar. Pada periode ini kekerasan dilakukan oleh masyarakat sipil dan pasukan sipil.
Sementara itu, pada Senin, 1 November 1999 Pengadilan Negeri Palu menjatuhkan vonis 14 tahun Penjara bagi Herman Parimo. Tapi sebelum menjalani hukumannya dia meninggal dunia di Rumah Sakit Stella Maris di Makassar, Sulawesi Selatan. Sementara pembuat selebaran gelap, Drs. Agfar Patanga dijatuhi hukuman 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Palu pada Senin, 20 November 2000.
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Jumat, 11 Juni 1999, Roy bersama dengan rekannya, Stanley, menjalani vonis hukuman pidana masing-masing 20 dan 5 tahun penjara. Mereka didakwa sebagai pemicu kerusuhan di Poso.
Bermula dari Silang Sengkarut Politik
Sebelum terjadi kerusuhan di akhir 1998, proses penjaringan bakal calon Bupati Poso sudah dimulai. Hingga Maret 1999, sejumlah nama masuk dalam nominasi seperti Akram Kamarudin, Abdul Malik Syahadat, Abdul Muin Pusadan, Damsyik Ladjalani dan Ismail Kasim.
Sementara proses ini berlangsung, pada Sabtu, 20 Maret 1999, Yahya Patiro, Sekretaris Wilayah Daerah Poso diserang oleh sekelompok pemuda di Hotel Wisata Poso.
Yahya Patiro diisukan sebagai salah satu penggerak kerusuhan 1998 dalam selebaran yang dibuat oleh Agfar Patanga. Akibat penyerangan itu, Hotel Wisata Poso mengalami kerusakan. Kepolisian menuduh Damsyik Ladjalani sebagai otaknya.
Atas dugaan itu, pada Sabtu, 29 Mei 1999 Damsyik Ladjalani yang kelak menjadi Bupati Tojo Unauna menjalani pemeriksaan di Polres Poso. Proses hukum kemudian terhenti tanpa diketahui alasannya.
Kapolres Poso saat itu Letnan Kolonel (Pol) Drs. Deddy Wuryantono kemudian dimutasi dari jabatannya. Sedang Damsyik Ladjalani kemudian menempati jabatan barunya sebagai Wakil Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah.
Pada April 1999, dilakukan penentuan calon Bupati Poso. Salah seorang figur terkuat, Abdul Malik Syahadat terlempar dari pencalonannya karena tidak ada fraksi yang mencalonkannya. Pada minggu kedua Mei 1999 muncul nama Abdul Muin Pusadan dan Eddy Bungkundapu sebagai unggulan.
Juni 1999, Arief Patanga diberhentikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Mayjen TNI Purn H.B. Paliudju dari jabatannya sebagai bupati. Ia digantikan Haryono, pensiunan militer, mantan Danrem 132 Tadulako, sebagai caretaker. Tugasnya menyiapkan pemilihan Bupati Poso.
Masa jelang pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Poso ditandai dengan banyaknya beredar selebaran yang isinya provokatif. Isinya soal keberimbangan latar belakang agama para calon bupati. Saat itu, pemilihan Bupati masih dilaksanakan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pada Sabtu, 30 Oktober 1999, Abdul Muin Pusadan terpilih sebagai Bupati Poso yang baru dengan 16 suara, sementara Mashud Kasim memperoleh 13 suara dan Eddy Bungkundapu sebanyak 10 suara.
Kondisi saat itu dapat diperanggapkan bak api dalam sekam yang tengah menunggu waktu membesar. Dan memang kemudian Sintuwu Maroso dibakar amarah. ***
Keterangan:
Surat Kabar Mingguan Alchairaat adalah Surat Kabar Mingguan yang diterbitkan oleh Penguruan Islam Alkhairaat Pusat Palu. Pada Januari 1998 media massa segmentatif ini mengirim dua orang reporternya ke Poso, yakni Moh. Rafiq Yahya dan Jafar G Bua, untuk mereportase situasi Kota Poso ketika itu.
Sumber:
Amidhan. et al, 2005. Poso, Kekerasaan yang Tak Kunjung Usai: Refleksi 7 Tahun Konflik Poso. Jakarta: Komnas HAM.
Syamsu Alam Agus, 2007. Konflik Poso 1998-2001: Potret Kegagalan Negara yang Terpelihara. Artikel diterbitkan di https:/http://syamsulalamagus.blogspot.com/ Diakses pada 22 Mei 2022.