Malam yang Tak Tidur. Markas Bayangan, Kota Cendana. Di balik gedung-gedung gemerlap dan toko-toko glamor Kota Cendana, tersembunyi lorong-lorong tua yang tak pernah masuk peta resmi kota. Di ujung lorong itulah berdiri sebuah bangunan tua bekas pabrik sabun, tertutup semak dan mural-mural gangster. Tapi malam ini, di dalamnya menyala cahaya merah remang.
Bayu Kanda berdiri di depan layar holografik berbentuk bulatan merah darah: lambang organisasi rahasia Langit Hitam.
Di belakangnya berdiri empat sosok misterius berseragam hitam dengan sabuk perak. Mereka adalah bagian dari dewan dalam Langit Hitam:
Rendra Dipa – Ahli racun dan mantan pejabat farmasi.
Ayu Laranti – Pembunuh senyap dengan senyum lembut.
Bisma Kaung – Mantan intelijen politik, kini pengatur strategi bisnis kotor.
Sarah Widyawati – Pendiri Widyawati Corp dan otak Langit Hitam generasi baru.
Sarah melangkah keluar dari bayangan. Anggun. Dingin. Mata elangnya menatap Bayu.
“Sudah saatnya kita percepat rencana. Satria sudah menyusup ke inti sistem,” ujarnya tajam.
Bayu mengangguk. “Ia belum tahu segalanya. Tapi dia terlalu cepat berkembang. Kita tak bisa biarkan dia menguak… siapa Mahesa sebenarnya.”
Rendra Dipa menimpali, “Mahesa Widjaya adalah pendiri Langit Hitam generasi pertama, sebelum menghilang. Dan kalau Satria tahu… dia tak akan pernah berpihak pada kita.”
Sarah menyipitkan mata. “Itulah sebabnya… saatnya menghapus luka sebelum ia tumbuh menjadi peluru.”
Pagi. Perpustakaan Tua di Selatan Kota. Satria berdiri di antara rak-rak tua yang dipenuhi debu. Di tangannya, surat dari vila tua masih tergenggam. Ia mencari jejak—dalam koran lama, catatan akademi, dan dokumen bisnis—tentang Mahesa Widjaya.
Satu artikel menarik perhatiannya: “Mahesa Widjaya Pernah Menghilang Selama 2 Tahun Setelah Penutupan Organisasi Langit Hitam, 1998.”
Lalu ia menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan: Foto Mahesa bersama lima orang lain… termasuk Sarah Widyawati muda.
Tertulis di bawahnya: Pendiri Awal Proyek Bayangan: Langit Hitam – Mahesa, Sarah, Bayu, Rendra, Bisma.
Dunia Satria runtuh dalam diam.
Ayahnya bukan hanya korban…Tapi pendiri kekuatan yang menghancurkan ibunya.
Sore Hari. Atap Gedung Tua. Satria berdiri sendirian. Angin menghantam wajahnya. Matahari tenggelam pelan, namun pikirannya kacau.
Eyang Kala Kembara pernah berkata: “Jangan menilai ayahmu dari diamnya. Tapi dari alasan di balik diam itu.”
Tapi bagaimana bisa? Bagaimana mungkin ayahnya memimpin organisasi yang juga membunuh istrinya sendiri?
“Apa semua ini hanya permainan kekuasaan?”
Di saat itu… langkah ringan mendekat dari belakang. Shinta.
“Maaf,” katanya pelan. “Aku membuntutimu.”
Satria tersenyum samar. “Kau selalu muncul saat aku butuh penenang.”
Mereka duduk di tepi atap, memandangi kota.
“Aku menemukan sesuatu,” ujar Satria. “Yang mengubah segalanya.”
Shinta menatapnya.
“Seluruh hidupku, aku pikir aku anak dari dua orang yang mencintai satu sama lain, lalu dikhianati. Tapi kenyataannya… Ayahku mungkin adalah pencipta jurang yang ia jatuhkan sendiri.”
Tiba-Tiba. Ledakan di Kejauhan. Suara dorr! membelah udara. Asap membubung dari arah pusat pengolahan data Widyawati Corp di utara kota.
Satria berdiri.
“Itu bukan kebetulan,” gumamnya. “Mereka mulai menyerang bukan dari depan… tapi dari akar.”
Malam Itu. Langit Gelap, Hati Terbuka. Satria kembali ke apartemennya. Ia membuka tas tuanya. Mengeluarkan benda yang selama ini ia simpan: cincin batu giok merah—warisan ibunya. Di dalamnya tertulis ukiran halus: “Bersihkan darahmu. Bukan untuk membalas, tapi untuk menebus.”
Satria menutup matanya.
Malam ini, ia tidak lagi hanya Satria Wibawa, pendekar jurang. Ia adalah penjaga keseimbangan. Penebus dosa keluarga. Dan ia akan hadapi Langit Hitam, walau sendirian.
Bersambung ke Episode 12: Cincin Merah, Darah Kedua…