https://youtu.be/snc-X9pR2pk

Kamis, 8 Oktober 2020, tidak kurang 3000-an mahasiswa di Palu menggelar unjukrasa. Tuntutannya cuma satu: Menolak Undang-Undang Cilaka. Awalnya masih adem, giliran berikutnya rusuh.

Dimulai dari upaya para mahasiswa menembus barikade pagar kawat duri, lalu dibalas tembakan meriam air dan gas air mata. Massa pun kocar-kacir. Puluhan luka-luka, puluhan pula ditangkap. Aroma gas air mata merebak sepanjang Jalan Sam Ratulangi, S. Parman hingga Yos Sudarso.

Sejak 1998, saya menjadi penikmat riuh rendahnya anak bangsa berjuang untuk isme yang mereka sebut demokrasi. Bagi saya tiada bedanya. Ruang paham kita bernegara menjamin kebebasan untuk mengutarakan pendapat.

Hanya satu pokok yang menjadi catatan penting saya: cara-cara penanganan massa oleh aparat negara sejak 1998 yang saya alami sendiri, bahkan sesuai rekaman sejarah sejak 1966, masih belum berubah. Saya pribadi tak hendak menyebutnya represif, tapi terlalu reaksioner. Menghadapi massa menurut hemat saya tak mesti dengan tembakan senjata api atau lontaran gas air mata.

Saya jadi ingat Komisaris Jenderal Polisi (Purnawirawan) Oegroseno Roestam Santiko, mantan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (2005 – 2006) dan mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (2013 – 2014).

Ia orang yang sebenarnya saya pikir akan menjadi Kapolri setelah Jenderal Polisi Badrodin Haiti, yang juga mantan Kapolda Sulteng sepeninggal Oegroseno.

Saya selalu terkesan pada cara-caranya menangani aksi massa, bahkan yang ricuh sekalipun.

Suatu waktu pada perhelatan Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Tengah pada 2006, massa yang pro pada salah satu kandidat Calon Gubernur menggelar unjuk rasa di Kantor Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Tengah di Jalan Letnan Jenderal TNI S.Parman, Palu. Mereka memblokade jalan raya dan sudah membakar pintu gerbang KPU. Massa kian tak terkendali, sementara Polisi dilarang menggunakan senjata api dan pelontar gas air mata.

Lalu tiba-tiba, Oegroseno muncul mengendarai sepeda motor dinas Polisi tanpa pengawalan. Ia memang senang mengunjungi daerah-daerah mengendarai sepeda motor 250 cc milik Polisi itu.

Apa yang dia lakukan? Kepada salah seorang pemimpin massa, ia meminta megaphone. Dan dia bilang, “Kalau marah-marahnya sudah selesai, penyampaian pendapat sudah dilakukan, ayo sudahi unjuk rasa ini dan ikuti saya ke rumah dinas Kapolda. Kita selesaikan selanjutnya di sana.”

Cuma itu yang disampaikan oleh putra mendiang Brigadir Jenderal Polisi (Purn) Rustam Santiko, mantan Bupati Pati, Jawa Tengah periode 1973-1978 ini. Dan massa pun manut. Mengikut di belakang Oegro yang mengendarai sepeda motor. Saya benar-benar terkesan dengan teknik persuasi mantan Kepala Lembaga Pendidikan Polri pada 2011 – 2012 ini.

Ada satu masa juga ia menunjukkan kepiawaiannya menghadapi massa. Ketika itu ada Kepala Desa di salah satu wilayah di Sigi ditangkap karena pembalakan liar. Kemudian warganya mendatangi Kantor Polda Sulteng di Jalan Sam Ratulangi, Palu Timur.

Mereka datang dengan penuh amarah. Pintu gerbang Kantor itu pun ditutup. Ada pemuda yang membuka baju dan menantang Polisi untuk duel. Tiba-tiba datang Oegroseno. Ia menyuruh petugas jaga membuka pintu gerbang dan meminta warga yang marah itu masuk ke halaman Polda. Hasilnya: warga manut dan berhenti marah-marah tak karuan. Ia mengundang warga masuk ke ruangannya. Persoalan pun selesai. Hukum ditegakkan, aspek sosial tak diabaikan.

Di tempo lain, pada 2005, ketika Polisi hendak menertibkan kelompok Madi yang mengaku dan diakui oleh pengikutnya di Salena, Palu Barat sebagai Imam Suci dan tokoh dengan segala macam kesaktian, Oegro mengeluarkan perintah tegas: Polisi dilarang memuntahkan peluru apapun menghadapi warga yang sudah menewaskan tiga anggota Polisi.

Sebagai catatan, kasus terbunuhnya anggota Polisi ini terjadi pada Selasa, 25 Oktober 2005. Saat itu, Oegro baru saja menggantikan Kapolda Brigadir Jenderal Polisi Ariyanto Sutadi.

Tiga Polisi tewas adalah Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Kota Palu AKP Fuadi Chalis, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan AKP Imam Dwi Haryadi dan Kepala Unit Reserse dan Intelijen Polsekta Palu Barat Brigadir Polisi Satu Arwansyah.

Saat itu, istilah Polisi Masyarakat belumlah terlalu populer. Itu masih menjadi wacana. Tapi Oegro sudah mulai menerapkan konsepsinya.

Praktis di zaman Oegro, banyak kasus-kasus serupa diselesaikan dengan cara tak biasa itu. Jargon Polisi; mengayomi dan melindungi, dibikin Oegroseno tak cuma jadi tulisan kosong belaka di bak-bak atau badan mobil dinas Polisi tapi menjadi praktik rutin Kepolisian.

Kita perlu lebih dari seorang Oegroseno. Sekadar diketahui jumlah anggota Kepolisian saat ini lebih dari 400 ribu orang. Sebanyak lebih dari 36 ribu di antaranya adalah anggota Polisi Wanita. Jadi kita perlu lebih dari 400 ribu Oegroseno baru.

Integritasnya menegakkan hukum tanpa mengabaikan aspek sosial patut jadi panduan laku anggota Polri. Saya yakin, bila mendiang Mantan Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso masih hidup, ia akan selalu tersenyum sumringah melihat aksi Oegro.

Saya merindukan Polisi seperti Oegroseno. Semoga Anda pun begitu.

Catatan: Artikel ini saya tulis ulang dari tulisan lama bertarikh 22 Mei 2019