Islam di Nusantara, memiliki beragam tradisi yang terus bertahan hingga kini. Tradisi warisan leluhur itu merupakan hasil perkawinan syariat Islam dengan tradisi lama sebelum mereka memeluk agama ini. Di Banggai, Sulawesi Tengah, misalnya, masyarakat setempat mengenal tradisi Bagantang. Ini adalah tradisi Islam tua yang unik dan sungguh menarik, saat melakukan pembayaran zakat fitrah. Seperti apa tradisi itu, simak kisah berikut ini.

Sebuah pinggan keramik tua dan sebuah baskom berisi beras serta sepotong besi menjadi media utama tradisi Bagantang. Ini adalah tradisi yang turun temurun dilaksanakan masyarakat Banggai, Sulawesi Tengah saat membayar zakat fitrah.

Bagantang dipimpin oleh seorang ustadz atau tetua masyarakat setempat yang dimulai dengan pembakaran kemenyan dan lafalan doa-doa dari surat pendek Alquran dan diakhiri dengan Alfatihah. Nantinya di atas asap kemenyan yang mengepul, pinggan itu akan diasapi. Konon untuk mendapat keberkahan.

Setelah proses awal itu selesai maka tetua tadi lalu mulai mengukur beras di baskom plastic, gantang demi gantang dan memindahkannya sampai terisi penuh pinggan keramik tadi. Kemudian diukur lagi dengan potongan besi dengan cara menandai permukaan beras dengan cara bersilang. Itu untuk menandai anasir tanah, api, air dan udara. Anasir-anasir itu ditandai, konon seperti kepercayaan leluhur kita bahwa tubuh kasar dan halus manusia  terdiri dari anasir tanah, api. air dan udara. Sehingga zakat menurut tradisi Islam tua di Banggai, bukan janya pembersihan harta tapi adalah pembersihan tubuh kasar dan halus manusia agar menjadi fitrah.

Setelah itu, orang yang akan berzakat, menaruh amplop uang senilai zakat fitrah yang ditentukan oleh Pemerintah atau Kementerian Agama setempat, di atas beras yang sudah digantang tadi dan sudah pula didoakan. Jari-jari tetua dan pembayar zakat, saling bertemu. Begitulah seterusnya sampai pembayaran zakat fitrah itu selesai.

Yang menariknya lagi, pembayaran zakat fitrah ini, tidak cuma diperuntukkan untuk mereka yang masih hidup, tetapi juga bagi anggota keluarga yang sudah meninggal. Mereka diwakili oleh anak atau cucunya. Zakat fitrah untuk arwah disebut Pakatu.

Menurut Salman Natsir, tetua yang setia melestarikan adat istiadat Islam tua ini, sejak ia kecil, tidak kurang 73 tahun lalu, orang tuanya juga melakukan tradisi ini. Dan sampai sekarang ia terus melestarikannya.

“Tradisi ini sudah sangat lama. Mengikuti usia saya yang sudah kepala tujuh puluhan saja, artinya tradisi ini sudah sangat lama. Ini persamaannya, Bagantang ini seperti membersihkan tubuh dari daki. Ketika kita menghadap kepada Allah Subhanawataala, tubuh kita harus bersih,” tutur Salman.

Irman D. Budahu, warga di Kota Luwuk, Banggai, saban tahun pula memilih melakukan tradisi ini, sebelum ia menyerahkan zakat fitrahnya kepada amil zakat yang sudah ditunjuk Pemerintah atau Kementerian Agama setempat.

“Tradisi-tradisi semacam ini makin hilang ditelan zaman. Dan ini tidak boleh terjadi. Sepanjang tidak bertentangan dengan Syariat, saya memilih untuk tetap melestarikannya,” kata Irman.

Nah setelah rangkaian tradisi ini selesai, apalagi yang dilakukan? Rupanya, setelah seluruh rangkaian pembayaran zakat fitrah ini selesai, beras dan uang yang terkumpul kemudian diserahkan pada amil zakat atau panitia pengumpul zakat yang dibentuk pemerintah atau kementerian agama setempat.

Ternyata, tradisi Islam Nusantara kita memang begitu beragam. Bila suatu waktu Anda berkunjung ke Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sayang rasanya melewatkan tradisi ini. ***

Keterangan: Kisah ini saya tulis pertama kali pada Ramadhan 1434 Hijriyah bertepatan dengan Agustus 2013 Masehi. Bisa jadi pelakon kisahnya sudah mendahului kita. Menarik membacanya kembali