Di kamp asykari Jamaah Anshori Tauhid di Gunung Biru, Tamanjeka, Santoso uring-uringan. Tertangkapnya Ariyanto dan Rafli usai amaliyah di Bank BCA Palu membuatnya gusar. Itu juga mempersulit gerakan mereka selanjutnya.

“Fauzan dan Dayat sudah syahid. Insya Allah jannah Allah menjadi milik mereka. Saya hanya khawatir mereka akan bernyanyi dalam pemeriksaan, ” kata Santoso seperti berguman.

Kekuatiran Santoso terbukti. Setelah itu sejumlah kurir ditangkap. Pendukung dana dan logistik mereka tiarap.

Sejak pagi puluhan mujahiddin bermuram durja. Santoso menyebut mereka tidak cermat membuat strategi pelarian. Pagi beraksi dan menjelang magrib sudah tertangkap.

“Sepertinya ada yang membocorkan rencana amaliyah mereka. Apakah di antara kita yang di hutan ini ataukah kontak mereka di kota,” ujar lelaki yang membiarkan cambang bawuknya bertumbuh kian panjang.

Tentu saja bagi para mujahiddin, pernyataan serupa tuduhan itu adalah hal yang menakutkan. Hukumannya sangat berat. Mereka akan mati di ujung timah kawan-kawannya yang ditugaskan sebagai eksekutor.

Saat itu, Ahmad Alghifary yang sudah setahun berhasil menjadi kurir kelompok ini masih berada di antara mereka.

Minggu lalu ia ditugaskan membawa bahan makanan, amunisi, senjata ringan dan alat komunikasi yang memang disiapkan untuknya agar bisa masuk ke kelompok ini.

“Bila mereka tahu bahwa pelapor itu ada di antara mereka, saya bakal tak selamat,” katanya membatin.

Penangkapan Ariyanto dan Rafli memang membuka rahasia JAT Wilayah Poso. Ustadz Yasin dan Papa Enal yang dikenal sebagai kurir digelandang Polisi. Seluruh jaringan sel aktif di Aceh, Bima dan Jawa kena getahnya. Polisi mengobrak-abrik mereka.

Setelah Brigadir Polisi Dua Andi Ibrar Prawiro dan Brigadir Polisi Dua Januar Yudhistira Pranata Putra tewas tertembak membuat Polisi menggelar aksi balas dendam.

Santoso gigit jari. Penangkapan besar-besaran Polisi mematikan langkah mereka. Santoso pun langsung ditetapkan dalam Daftar Pencarian Orang. Pelatihan mereka pun tertunda.