OPM – Organisasi Papua Merdeka – didirikan sejak 1963. Pada awalnya OPM dikendalikan oleh warga negara Belanda yang bertujuan untuk melepaskan Papua dari Indonesia serta permintaan tokoh pejuang Papua untuk menerima kewarganegaraan Belanda.
Sejak awal didirikannya, OPM terdiri dari dua fraksi yaitu pertama, fraksi yang didirikan pada 1963 oleh Aser Demotekay di Jayapura. Upaya yang dilakukan Aser Demotekay untuk mencapai kemerdekaan Papua yaitu dengan cara bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dan tanpa menggunakan aksi kekerasan sehingga hal ini menarik perhatian masyarakat untuk mendukung aksi yang dilakukan Aser. Harapan Aser dengan cara bekerjasama dengan pemerintah Indonesia akan lebih mudah mendapatkan kemerdekaan Papua.
OPM merupakan sebutan yang dibuat pemerintah Indonesia bagi kelompok-kelompok separatis yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Kelompok-kelompok ini memiliki pemimpin-pemimpin yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pada 1963, OPM yang dipimpin Permenas Ferry Awom semakin terlihat setelah melakukan aksi pemberontakan bersenjata di Manokwari dan beberapa wilayah Papua lainnya. Fraksi kedua yaitu fraksi yang didirikan pada 1964 oleh Terianus Aronggear di Manokwari.
OPM semakin berkembang setelah adanya Terianus Aronggear. Di Masa kepemimpinan Terianus, OPM disebut sebagai “Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Merdeka”. Fraksi yang dipimpinnya lebih berani karena lebih memilih untuk melakukan perlawanan bersenjata daripada fraksi yang dipimpin Aser yang masih menggunakan pendekatan diplomatis. Pada awalnya organisasi ini merancang kekuatan dibawah tanah untuk melawan pemerintah Indonesia.
Marcus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe saat mendengarkan informasi tentang perjuangan OPM, mereka langsung merencanakan aksi untuk mendukung perlawanan OPM dalam memperjuangkan Papua.
Sebagai ketua umum OPM, Terianus Aronggear menyusun rencana untuk menyelundupkan dokumen ke badan PBB di New York pada 1962 yang berisikan pertanyaan tentang status Papua kemudian ia meminta untuk diadakannya peninjauan Persetujuan New York, namun persetujuan tersebut dirasa tidak adil karena tidak melibatkan wakil Papua.
Kekecewaan terhadap pemerintah karena tidak melibatkan wakil Papua dalam menentukan sebuah kebijakan menjadi acuan OPM untuk melakukan upaya-upaya yang menjatuhkan Indonesia. Pada 1968, kurang lebih 19 orang oknum Papua melakukan rapat gelap yang menghasilkan propaganda untuk menyebarluaskan rasa kebencian terhadap pemerintah Indonesia dan berusaha untuk membebaskan Papua dari Indonesia.
Perkembangan OPM tidak terlepas dari masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Selama masa jabatan presiden Soekarno, sistem kebijakan saat itu merupakan demokrasi terpimpin dan etimologi orde lama yang mana memiliki dua jabatan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Pada masa orde lama, sistem pemerintahan mengalami perubahan-perubahan seperti penerapan sistem pemerintahan presidensial, demokrasi bilateral, parlementer dan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Pada masa itu, OPM mengalami peningkatan keanggotaan.
Meskipun anggota OPM tidak sebanding dengan anggota TNI/Polri, namun OPM sulit untuk ditangani karena wilayah Papua didominasi oleh hutan sehingga sangat sulit untuk melacak tempat persembunyiannya. Perjuangan OPM semakin serius dengan berhasilnya OPM memperoleh dukungan dari negara Vanuatu pada 1965.
Dalam perkembangannya, OPM merasa tidak memiliki persamaan historis dengan negara manapun termasuk Indonesia. Pada 1969 melalui perjanjian antara Belanda-Indonesia, bersatunya wilayah Papua dengan Indonesia dianggap OPM sebagai penyerahan wilayah dari tangan penjajah ke penjajah lainnya.
Sejak awal berdirinya, selain melakukan aksi kekerasan, OPM telah melancarkan aksinya melalui pengibaran bendera Bintang Kejora. OPM juga menolak pembangunan ekonomi di Papua dan hanya menuntut untuk kemerdekaan Papua. Pada masa kepemimpinan Muammar Gaddafi, OPM sempat mendapatkan pendanaan dari pemerintah Libya. Selain itu, OPM mendapat pelatihan dari New People's Army yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Dalam catatan Institute for Policy Analysis of Conflict (24 August 2015), OPM terdiri dari tiga elemen: kelompok unit bersenjata yang berbeda, masing-masing dengan kontrol teritorial terbatas tanpa komandan tunggal; beberapa kelompok di wilayah yang melakukan demonstrasi dan protes; dan sekelompok kecil pemimpin yang berbasis di luar negeri yang meningkatkan kesadaran akan isu-isu di wilayah tersebut sambil berjuang untuk dukungan internasional untuk kemerdekaan.
Militer Indonesia menamai mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata, Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata, dan Kelompok Separatis Teroris Papua atau disingkat masing-masing KKB, KKSB, dan KSTP.
Saat ini, OPM mempunyai sayap militer yang dinamai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). TPNPB terbagi ke dalam 34 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) yang tersebar di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Selatan, dan Provinsi Papua Tengah. Namun yang sangat kerap melancarkan aksinya adalah Kodap di daerah Papua Pegunungan.
Yang terbaru adalah aksi mereka menembak mati Komandan Koramil (Danramil) Aradide, Kodim 1703-04/Deiyai, Letda Inf Oktovianus Sogarlay, Kamis (11/4/2024).
OPM punya banyak strategi memperjuangankan tuntutan mereka. Mereka juga menempuh upaya jalur diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan aksi terorisme sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung mereka secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari separatis Papua, seperti lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.
Gerakan ini dianggap sebagai organisasi separatis di Indonesia, dan aktivitasnya telah menimbulkan tuduhan makar. Agar tak terus menerus menjadi benalu, Pemerintah RI telah menggelar sejumlah operasi hingga yang terbaru Operasi Damai Cartenz untuk menumpas gerakan ini.
TNI Resmi Gunakan Istilah OPM, Bukan KKB atau KST
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah menegaskan instruksinya untuk kembali menggunakan istilah OPM secara resmi. Ini menunjukkan pergeseran dalam narasi, pendekatan dan strategi TNI terhadap konflik di Papua.
Dari kaca mata awam, perubahan penyebutan kelompok yang akhir-akhir ini kian menggiatkan serangannya pada ‘asset' Indonesia memperlihatkan ‘sikap lunak' atau pengakuan negara pada kelompok itu.
Namun, bila menggunakan cara pandang yang lebih menyeluruh, penggunaan istilah Organisasi Papua Merdeka ini dapat kita telisik dari variabel berikut ini;
Perubahan Strategi Komunikasi: Penggunaan kembali istilah OPM menunjukkan perubahan strategi komunikasi yang diadopsi oleh TNI dalam menghadapi konflik di Papua. Dengan kembali menggunakan istilah yang lebih lama dikenal, TNI bisa jadi mencoba untuk mengembalikan pemahaman konflik tersebut ke akar sejarahnya dan merangkul kerangka kerja politik yang lebih luas dalam menangani masalah tersebut.
Pengakuan Politik pada OPM: Kita semua tak berharap kasus lepasnya Timor Timur yang kemudian berubah menjadi Timor Leste akan ada jilid duanya. Namun, dapat dilihat perubahan istilah ini menjadi semacam pengakuan terhadap persoalan politik yang melingkupi keberadaan kelompok itu. Pemilihan kembali istilah OPM dapat dianggap sebagai pengakuan dari negara terhadap aspek politik yang melingkupi konflik di Papua. Dengan mengakui OPM, negara bisa jadi berusaha untuk menangani konflik dengan mempertimbangkan faktor politik dan aspirasi kemerdekaan yang diperjuangkan oleh kelompok tersebut.
Nah, mengingat Indonesia pernah mengalami satu fase sejarah terlepasnya Timor Timur, maka tentu saja ini akan ditangani lebih hati-hati.
Respon atas Tekanan Internasional: Faktor eksternal tentu juga berpengaruh. Ini bisa dibaca sebagai respon terhadap tekanan internasional kepada negara kita terkait dengan penanganan konflik di Papua. Dengan menggunakan istilah yang lebih netral seperti OPM daripada KKB atau KST, TNI berusaha untuk mengurangi kekhawatiran atau kritik dari pihak internasional terhadap penanganan konflik di Papua.
Ini juga menunjukkan dengan jelas kepada dunia, bahwa kelompok yang berada di Papua adalah kelompok perjuangan bersenjata yang menginginkan kemerdekaan dan merongrong negara. Dalam praktiknya, tak ada satu pun negara di dunia yang akan menolerir upaya pemberontakan macam itu. Dan tentu saja, ini harus dilawan, baik di meja diplomasi maupun medan perang.
Potensi Dampak Terhadap Persepsi Publik: Pergeseran dalam penggunaan istilah dapat mempengaruhi persepsi publik tentang konflik di Papua. Dengan mengidentifikasi lawan sebagai OPM, TNI mungkin berharap untuk memperoleh dukungan lebih luas dari masyarakat Indonesia dengan mengaitkan konflik dengan agenda kemerdekaan yang dianggap sensitif. Sepanjang sejarah Indonesia, makar adalah aksi kontranegara yang selalu diselesaikan dengan jalan bersenjata dengan dukungan dari publik, sebab sedikit banyak pergolakan serupa itu akan menyulitkan kehidupan mereka. Itulah mengapa dukungan dari publik secara luas akan menjadi legitimasi kuat bagi TNI dalam mengambil tindakan kepada OPM.
Lalu, apakah hal-hal tersebut kemungkinan akan mengubah strategi TNI dalam menyelesaikan persoalan Papua? Ini bisa dipastikan, meskipun ada perubahan dalam istilah yang digunakan, hal ini tidak mengubah strategi militer TNI dalam menangani konflik di Papua. TNI kemungkinan besar akan tetap melanjutkan operasi militer dan keamanan lebih masif yang bertujuan untuk menekan aktivitas kelompok bersenjata di wilayah tersebut. ***