Santoso alias menjadi orang yang paling diburu oleh aparat Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia selama kurun waktu 2011-2016 saat itu. Ia didaulat oleh kelompoknya menjadi pemimpin Mujahiddin Indonesia Timur yang kemudian berafiliasi ke ISISIslamic State of Iraq and Syria. Dalam lima tahun itu, dia dan kelompoknya menebar teror.

Dia pun diburu oleh ribuan aparat keamanan dari pelbagai kesatuan TNI dan Kepolisian.

Penelusuran latar belakang berasal dari sepotong kisah dari Andi Baso Thahir, salah seorang yang benar-benar mengenal sosok Santoso sejak amuk sosial mengharubiru Poso pada 1998-2000 silam.

“Santoso itu baik. Orangnya cenderung pendiam. Tidak pernah kelihatan marah. Tapi ia keras hati. Suatu waktu ketika ia mulai mencoba pelatihan asykari, saya meminta dia menghentikanya. Dia menuruti. Namun di kemudian hari dia ternyata kembali melatih anak-anak untuk bertempur,” sebut Ateng–sapaan akrab Andi Baso Thahir.

Ustadz Adnan Arsal, tokoh agama, pimpinan Pondok Pesantren Amanah di Kelurahan Gebangredjo, Poso bilang ia juga mengenal Santoso dengan baik.

“Bila kami memberi tauziah, nasehat-nasehat agama, ia lebih banyak mendengarkan. Lebih banyak diam. Jarang menanggapi. Anaknya cenderung diam. Tapi kemudian hari ia menjadi momok yang mesti diburu oleh ribuan aparat, itu juga menjadi pertanyaan saya,” aku Adnan.

“Santoso dulu anak buah saya. Saya tahu kemampuannya. Saya tahu siapa dia,” imbuh Hasanuddin, anak mantu Ustadz Adnan yang sesama bekas petempur di Poso. Hasanuddin pernah juga dibui karena didakwa terlibat dalam aksi terorisme di Poso.

Jejak Santoso bermula dari Gunung Biru, , Poso Pesisir Utara, Poso. Di lahan seluas lebih dari 34 ribu hektare itu sejak 2010, ia menggelar tadrib, latihan militer untuk memperkuat asykari-nya. Sayap militer kelompok Mujahiddin Indonesia Timur inilah yang kemudian menjadi alat penebar teror kelompok Santoso. Mereka menjelma menjadi kelompok sipil bersenjata yang menebarkan ketakutan. Sebelum di Tamanjeka, mereka sempat menggelar tadrib di Gunung Mauro, Tambarana, Poso Pesisir Utara.

Langkah awal Santoso bisa pula ditelusuri dari Tokorondo lalu Tambarana dan Masani di Poso Pesisir. Namun saat itu Santoso masihlah anggota majelis yang tekun mendengarkan tauziah, petuah-petuah agama. Tidak ada tanda-tanda ia akan melakukan amaliyah, praktik pengamalan jihad dengan cara seperti saat ini.

Sampai akhirnya pada 2009 muncul gagasan Abu Tholut yang mengajak Santoso, juga Ustadz Yasin membentuk Qoidah Aminah di Poso. Langkah awalnya adalah adalah tadrib, pelatihan tempur untuk membentuk asykari, laskar militer. Itulah yang menjadi cikalbakal kelompok Mujahiddin Indonesia Timur. 

Jamaah Ansharuttauhid di bawah Ustadz Yasin menjadi penyokong kelompok ini. Kemudian adapula sisa-sisa kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa. Santoso pun ditunjuk sebagai amir, pemimpinnya.

Kelompok sipil bersenjata yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah inilah yang kemudian melanjutkan cita cita mendirikan Negara Islam yang merupakan kelanjutan dari cita-cita kelompok lintas Tanzim Aceh yang gagal pada 2010 karena dihancurkan oleh Polisi. Mereka berniat menjadikan Poso sebagai Qoidah Aminah, daerah persiapan pembentukan Negara Islam Indonesia.

Lalu pada Januari 2011, JAT pun membangun cabangnya di Poso. Ustadz Yasin diangkat sebagai Amir dan Santoso ditetapkan sebagai pimpinan asykari JAT wilayah Poso. Sejak saat itu, Santoso-lah yang bertanggungjawab untuk serangkaian tadrib asykari ini. Pesertanya, adalah mujahidin lokal serta para mujahidin luar Poso yang rata rata adalah para pelarian kasus terorisme di Jantho Aceh 2010, kasus bom Universitas Bung Karno 2010, dan sejumlah kasus lain.

Tapi jangan disangka mereka memiliki peralatan tempur yang memadai. Mereka cuma punya sebanyak 3 pucuk senjata. Kas asykari pun kosong melompong. Sejak saat itu, aksi-aksi fa'I (pencarian dana) pun dilakukan. Untuk melengkapi senjata, sasaran paling mudah kelompok ini adalah para polisi yang bertugas di lapangan. 

Catat saja aksi mereka; pada 25 Mei 2011, Aryanto Haluta dan beberapa orang lainnya, menembak mati dua anggota Polri dan melukai seorang anggota Polri yang sedang berjaga di pos Bank Central Asia di Jalan Emmy Saelan Palu. Mereka berhasil merampas dua pucuk senjata api laras panjang jenis V2. Kemampuan senjata ini lebih baik daripada pendahulunya SS-1 yang banyak dipakai anggota Polisi. 

Tapi aksi ini mudah tercium aparat. Aryanto Haluta dan Rafli alias Furqon ditangkap Polisi. Fauzan alias Charles dan Dayat alias Faruq yang juga terlibat dalam aksi itu tewas ditembak Polisi. Tentu saja penangkapan ini melemahkan kelompok Santoso. Apalagi kemudian Polisi menangkap Ustadz Yasin dan Papa Enal yang menjadi wakil ketua JAT Wilayah Poso.

Sejak saat itu, Santoso mulai merencanakan pelarian dan persembunyiannya. 

“Kadang dia hilang seminggu terus balik lagi. Setelah itu menghilang lagi. Kalau ditanya, dia cuma diam,” tutur Suwarni, istri Santoso pada sebuah pertemuan di Tambarana, Poso Pesisir Utara.

Santoso kemudian ditetapkan namanya masuk dalam daftar pencarian orang. Sejak saat itu, Santoso menghilang dari rumah. Komunikasi dengan istrinya dilakukan lewat telepon selular. Gunung Biru, Tamanjeka dipilih sebagai tempat persembunyian kelompok ini. Santoso pun menghubungi Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa alias Daeng Koro di Makassar. Ia meminta pecatan anggota ABRI itu bergabung dengan dirinya dalam persembunyian. Daeng Koro sudah terlibat aksi terorisme di Indonesia sejak 2000, ia bergabung dengan Laskar Jihad dalam Kerusuhan Poso. Tahun 2007, Daeng Koro membantu JI dalam insiden melawan polisi di Poso. Ia berhasil lolos dan lari ke Makassar sebelum akhirnya kembali ke Poso dan berkumpul dengan Santoso. Selain Santoso, Daeng Koro juga punya andil besar di MIT.

Ia pun menugaskan Imron dan Bahrunnaim untuk menghubungi petempur-petempur dari luar Sulawesi Tengah agar bergabung dengan kelompoknya di Poso. Para lulusan Akademi Militer Afghanistan pun diundang. Gayung pun bersambut. Zipo alias Ibenk asal Bima yang terlibat kasus bom UBK pada Juli 2011 menyatakan bergabung dengan kelompok Santoso. Tapi lagi-lagi kelompok ini tersandung pada ketiadaan dana operasi sampai kemudian Rizki dan Cahya di Surabaya, Jawa Timur yang bersimpati pada kelompok ini meretas situs investasi online Speedline. Mereka berhasil membobol kas perusahaan investasi ini lebih dari Rp7 miliar. 

Pada awal 2012 mereka pun mulai melakukan perekrutan calon peserta pelatihan dari pelbagai wilayah di luar Poso meliputi Medan, Sumatera Utara, Bima, Nusa Tenggara Barat dan Solo, Jawa Tengah. Sejak saat itu, sel-sel kelompok sipil bersenjata dari pelbagai daerah pun menyatakan dukungannya pada MIT. 

Beberapa di antaranya adalah mantan pengikut Noordin Moh Top dibawah Badri Hartono yang menamai diri Alqaeda Indonesia. Lalu kelompok Beji, Depok di bawah Abu Thoriq, kelompok Pamulang di bawah pimpinan Kodrat, adapula kelompok Mujahidin Indonesia Barat di bawah kendali Abu Roban, pelarian kasus Jantho Aceh. Belakangan sejumlah kelompok Bima dan Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan sokongan mereka pada Santoso.

Asykari pimpinan Santoso ini pun akhirnya merasa diri kuat. Pada 2012 itu pula dengan menjadikan daerah Gunung Biru, Tamanjeka sebagai basis mereka, Santoso pun diangkat sebagai Amir Mujahiddin Indonesia Timur. Asykari diserahkan kendalinya pada Daeng Koro yang juga alumni Akademi Militer Moro, Philipina Selatan. Latihan-latihan asykari pun makin digiatkan.

Akhirnya aparat keamanan memakai strategi baru untuk melumpuhkan kelompok ini. Pada 2012, sejumlah pentolan-pentolan kelompok penyokong MIT di Poso ditangkap. Kelompok Badri dan Farhan Solo, Jawa Tengah juga dilumpuhkan. Lalu penangkapan Cahya dan kawan-kawannya di Bandung, Jawa Barat. Diteruskan dengan penangkapan kelompok Kodrat di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten dan kelompok Beji di Depok, Jawa Barat. Abu Roban yang mendaulat diri sebagai pimpinan Mujahiddin Indonesia Barat pun diringkus. Sejumlah kelompok teroris di Bima, NTB dan Makassar, Sulsel pun diobrak-abrik.

Rangkaian operasi itu membuat MIT Poso bereaksi. Pada 8 Oktober 2012, kelompok Santoso menculik dan membunuh dua anggota Polres Poso. Senjatanya dirampas pula. Lalu Pos Polisi di depan SMAKER Poso di ujung Jembatan Poso dibom. Beberapa polisi terluka terkena serpihan bom.

Aparat keamanan tentu tidak tinggal diam. Ustad Yasin ditangkap. Lalu Zipo ditembak mati dalam sebuah penyergapan. Beberapa orang anggota asykari ditangkap di Kalora, Poso Pesisir Utara.

Rupanya penangkapan ini kembali mengundang reaksi kelompok Santoso. Pada 22 Januari 2012, mereka menyergap iringan sepeda motor patroli Brimob di Desa Kalora. Sebanyak empat orang anggota Brimob tewas. Sepucuk SS-1 dibawa kabur kelompok ini.

Kemudian, pada 4 Januari 2013, Polisi menembak mati Kholid dan Abu Uswah, salah seorang pelaku penculikan dan pembunuhan anggota Polres Poso di Tamanjeka. Pada 5 Januari 2013 Polri mengendus rencana aksi teror yang akan dilakukan oleh anak buah Santoso di Dompu Bima. Beberapa anak buah Santoso rupanya menyeberang ke Bima. Dalam sebuah operasi, Polisi menembak mati lima terduga teroris. Tiga orang asal Bima, seorang dari Poso dan seorang lagi asal Makassar.

Dari laporan intelijen diketahui, kelompok ini menggelar tadrib berpindah-pindah. Mereka membuat basis pertahanan sepanjang Poso Pesisir sampai Parigi. Setelah mereka mendaulat diri sebagai bagian dari ISIS pada 2014, dukungan dari jejaring terorisme internasional pun terus berdatangan. Apalagi sebelumnya, senjata-senjata yang mereka punya memang berasal dari Moro, Philipina Selatan.

Sejak saat itu, operasi intensif untuk perburuan Santoso dilakukan. Pada 26 Januari 2015, Polisi menggelar Operasi dengan sandi Camar Maleo yang melibatkan Polda Sulteng, Densus 88 Anti Teror Polri dan Satuan Brimob Resimen Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Sejumlah operasi intelijen digelar. Penggalangan dan pemantapan peran masyarakat untuk aksi kontra provokasi digalakkan di Poso. Patroli hutan juga dilakukan hingga sweeping di jalur logistik kelompok ini.

Selama operasi dari 26 Januari 2015 hingga 26 Maret 2015, sebanyak 13 terduga teroris ditangkap dan menjalani proses hukum. Lalu tiga orang tewas ditembak.

Pada Jumat, 3 April 2015, Sabar Subagyo alias Abu Autad Rawa alias Daeng Koro dan Imam alias Farid tewas ditembak dalam penyergapan di Dusun Sakina Jaya, Desa Pelawa Baru, Kabupaten Parigi Moutong. Mereka diduga akan beraksi pada 19 September 2015 saat puncak penyelenggaran Sail Tomini yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo di wilayah itu. 

Saat itu, aparat mengumpulkan sejumlah barang bukti berupa dua pucuk senjata laras panjang M16, sepucuk revolver dan sepucuk senjata api rakitan laras panjang, beberapa buah bom dan ratusan butir peluru.

Kali ini Santoso terpukul. Sosok kuat di sampingnya tewas di tangan Polisi. Meski masih ada Basri alias Bagong dan Ali Kalora yang menjadi pimpinan Asykarinya.

Dan Operasi Camar Maleo pun terus berjalan. Kepolisian melanjutkan operasi Camar Maleo II yang dimulai pada 27 April 2015 hingga Camar Maleo IV yang berakhir pada Desember 2015. Selama Operasi Camar Maleo II, kelompok Santoso disergap di Desa Gayatri, Kecamatan Poso Pesisir Utara dan berhasil menewaskan dua tersangka teroris atas nama Eno dan Aziz. Dua pucuk senjata api jenis M16 serta ratusan butir peluru dan bom berhasil diamankan.

Lalu, pada akhir Desember 2014, tiga warga dilaporkan diculik oleh kelompok sipil bersenjata. Mereka adalah Gara Taudu, Harun Tomimbi dan Viktor Tolaba. Mereka diculik saat menyadap damar di hutan Desa Tamadue, Lore Timur. Lalu pada Minggu, 28 Desember 2014, Gara Taudu alias Jemmy ditemukan telah tewas dengan luka tembak di dada dan kepala. Jejak Santoso mulai tercium di lembah megalith ini.

Sejak saat itu, aparat ditempatkan di wilayah dengan padang savanah nan indah ini. 

Januari 2015 dimulailah secara resmi 2016. Komando Operasi ditempatkan di Lembah Napu, Watutau, Kecamatan Lore Peore, Poso. Perburuan Santoso digiatkan. Dipastikan kelompok ini sudah meninggalkan Gunung Biru, meski beberapa kali mereka muncul di wilayah pesisir Poso. Operasi melibatkan semua jajaran. Polisi dan TNI menggelar operasi bersama. Semua pasukan elit TNI dari semua angkatan dan Kepolisian dilibatkan. Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis juga dilibatkan penuh. 

Sepanjang Operasi Tinombala 2016 sebanyak 10 orang terduga teroris tewas dan dua orang ditangkap. Saat itu dari 29 orang terduga teroris, tiga orang di antaranya adalah perempuan.

Pada 2015, Lembah Napu berubah jadi medan tempur dengan lebih dari 3000 aparat keamanan dari TNI dan Polisi. Luas wilayah itu sekira 2 ribu kilometer persegi. Terdiri dari Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore Tengah, Lore Timur dan Lore Piore. 

Jaraknya dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah tidak kurang dari 168 kilometer. Ada dua jalur untuk menuju Lembah Napu yakni dari Kota Palu dan Kota Poso, Ibukota Kabupaten Poso sejauh lebih dari 200 kilometer. Bila dari Palu melewati jalur hutan belantara di Taman Nasional Lore Lindu, sedang dari Poso melewati perkampungan warga, hutan sekunder dan padang savanah. 

Belakangan, setelah Santoso tertembak pada 18 Juli 2016 di Tambarana, Poso Pesisir Utara, kelompok ini berpindah-pindah dan menebar teror di wilayah Poso, Sigi hingga Parigi Moutong.

Santoso tewas dalam kontak senjata dengan Tim Alfa 92 dari Batalyon Infanteri Raider 515/Ugra Tapa Yudha, Banyuwangi, Jawa Timur. Kontak tembak itu terjadi di Pegunungan Tambarana, Poso Pesisir Utara. 

Pasca kejadian itu, kelompok ini kehilangan amir yang kuat. Basri alias Bagong yang dipersiapkan mengganti Santoso, akhirnya tertangkap pada 14 September 2016 oleh Satuan Tugas Operasi Tinombala di desa Tangkura, Poso Pesisir Selatan. 

Saat itu, Basri tengah mencari logistik bersama istrinya Nurmi Usman dan dua orang anggota MIT lainnya, Andika dan Sabron.

Di hari yang sama, Andika Eka Putra tewas dan beberapa hari kemudian, Sobron juga tewas. Kemudian 10 November 2016, Yono Sayur tewas setelah kontak tembak dengan pasukan gabungan TNI-Polri.

Mereka yang tertembak adalah para kombatan inti yang sejak awal bergabung dengan mendiang Santoso alias Abu Wardah. 

Buah teror mereka yang kembali menyita perhatian terjadi pada Jumat, 27 November 2020, sekitar pukul 08.00 WITA, sejumlah anggota MIT mendatangi permukiman warga transmigran lokal di Dusun Lebonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Mereka membunuh empat orang serta membakar beberapa buah rumah.  

Kelompok yang melakukan penyerangan diketahui dipimpin oleh Ali Kalora.

Untuk diketahui, pasca tewasnya Santoso lalu tertangkapnya Basri kelompok MIT terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh Ali Kalora dan kelompok kedua dipimpin Qatar alias Farel alias Anas.

Saat itu anggota MIT berjumlah 9 orang. Sebanyak 4 orang Poso yakni Ali Kalora, Rukli, Suhardin alias Hasan Pranata dan Ahmad Gazali alias Ahmad Panjang adalah pemukim Poso.

Sedang 4 orang lainnya yakni Qatar alias Farel alias Anas, Abu Alim alias Ambo, Nae alias Galuh dan Askar alias Jaid alias Pak Guru berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Adapun Jaka Ramadan alias Ikrima alias Rama berasal dari Banten.

Aksi penyerangan ke Lembantongoa itu sendiri mereka sebut sebagai aksi balas dendam setelah pada Selasa, 17 November 2020 pagi dua anggota kelompok MIT yang sempat bersembunyi di Palu, ditembak Satgas Tinombala di wilayah Kecamatan Bolano, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Mereka adalah Wahid alias Aan alias Bojes dan Aziz Arifin alias Aziz.

Setelah pembunuhan di Lembantongoa, kelompok MIT membunuh empat warga bersuku Toraja di Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah pada pada Selasa, 11 Mei 2021. 

Perburuan atas kelompok ini terus digiatkan. Sebanyak 70 titik perlintasan kelompok ini di wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi disekat. Di titik-titik itu didirikan Pos Sekat dan Pos Kejar untuk mempersempit ruang gerak kelompok MIT. 

Sejak 1 Januari 2021, sandi operasi berubah menjadi . Selain hard approach – pendekatan keras dengan penindakan hukum, upaya soft approach – pendekatan lunak berupa aksi sosial dan teritorial kian digiatkan. Duet Inspektur Jenderal Polisi Abdul Rakhman Baso dan Mayjen TNI Farid Makruf, MA, yang kerap menggelar aksi humanis dan operasi teritorial saat itu dinilai berdampak sangat signifikan bagi makin terdesaknya anggota kelompok MIT.   ***