ASH SHIDDIQAH BINTI ASH-SHIDDIQ, Al-‘Atiqah binti al-‘Atiq, kekasihnya kekasih, penghibur yang dekat dengan junjungan Nabi Muhammad SAW, wanita yang dibebaskan dari segala cacat dalam Kitabullah dan bersih dari keraguan hati hingga ia mampu melihat Jibril, utusan Allah Yang Maha Mengetahui yang gaib. Wanita yang selalu berpuasa dan berpuasa hingga tubuhnya lemah karena puasa. Ialah , pemilik cinta pertama dalam Islam, cinta Rasulullah SAW.

Sungguh memiliki kedudukan yang agung seperti kisah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Shafwan: “Ada tujuh hal pada diriku yang tidak dimiliki oleh wanita manapun, kecuali yang diberikan oleh Allah kepada Maryam binti Imran. Demi Allah, aku tidak mengatakan ini sebagai kesombongan terhadap para sahabatku (maduku).

Tujuh hal itu adalah (1) Malaikat Jibril pernah turun membawa gambarku kepada Rasulullah (dalam mimpi); (2) Rasulullah menikahiku saat aku baru berusia tujuh tahun lalu aku diberikan kepada beliau saat berusia sembilan tahun; (3) beliau menikahiku sebagai seorang gadis dan tidak ada seorang manusia pun yang menyamaiku; (3) wahyu datang kepada Rasulullah SAW saat aku dan beliau dalam selimut yang sama; (4) aku adalah orang yang paling beliau cintai; (5) ada ayat yang turun berkaitan denganku ketika umat ini hampir hancur; (6) Aku pernah melihat Jibril dan tidak satu pun istri Rasulullah selain aku yang pernah melihatnya: (7) dan Rasulullah SAW wafat di rumahku tanpa ada seorang pun menemani selain malaikat dan aku.

Wanita yang jujur, setia, tulus, pencemburu, dan terhormat: Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Ayahnya bernama Abdullah ibn Utsman ibn ‘Amir ibn ‘Amar ibn Ka ‘b ibn Sa’d ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ay al-Qurasyi at-Taimi. Ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir ibn ‘Uwaimir al-Kinaniyyah, sahabat wanita yang agung dan mukminah yang pernah disabdakan oleh Rasulullah: “Siapa yang ingin melihat bidadari maka hendaklah ia melihat Ummu Ruman.”

Wanita yang dibersihkan namanya dari atas tujuh langit adalah Aisyah binti Abu Bakar r.a. Ialah Ummul Mukminin, istri junjungan seluruh umat manusia, yang paling beliau cintai dan putri dari laki-laki yang beliau cintai. Aisyah adalah wanita yang telah membuktikan, sejak empat belas abad yang lalu, bahwa wanita bisa menjadi lebih unggul daripada laki-laki dan bisa menjadi politikus, bahkan prajurit perang.

Wanita ini telah berguru dan dididik dalam madrasah nubuwah, madrasah iman, dan madrasah perjuangan. Pada masa kanak-kanak, dididik oleh guru kaum Muslimin dan manusia paling utama di antara mereka, yaitu sang ayah: Abu Bakar ash-Shiddiq. Selanjutnya, pada masa remaja, ia dibimbing oleh Nabi dan mahaguru umat manusia, orang yang paling mulia dan paling utama, yaitu sang suami: Rasulullah SAW.

Dengan demikian, Aisyah telah merangkum ilmu, keutamaan, dan pengajaran yang membuatnya mampu meninggalkan gema dalam sejarah yang gaungnya abadi sepanjang masa. Peninggalan-peninggalan Aisyah diajarkan di berbagai fakultas-fakultas agama sementara amal-amalanya yang paripurna menjadi ruang lingkup kajian bagi setiap pengajar sejarah Arab dan kaum Muslimin.

Rasulullah SAW menikahi Aisyah r.a. atas perintah Allah SWT, pasca meninggalnya mendiang Sayyidah Khadijah r.a. Ketika Aisyah masih anak-anak yang berusia enam tahun. Pada saat yang sama, Rasulullah menikahi Saudah binti Zum’ahr.a., tetapi ia hanya memboyong Saudah dan tinggal bersamanya selama tiga tahun. Setelah itu, Nabi baru mmeboyong Aisyah ketika telah berusia sembilan tahun. Rasulullah memboyong Aisyah pada bulan Syawal tahun ke-2 H sesudah Perang Badar.

Tentang hari pernikahannya, Aisyah menggambarkan sebagai berikut, “Rasulullah mendatangi rumah kami lalu berkumpullah sejumlah laki-laki dan wanita Anshar. Selanjutnya, ibuku mendekatiku saat aku sedang memanjat di antara dua pelapah kurma. Ibu menurunkanku lalu merapikan rambutku dan mengusap wajahku dengan sedikit air. Setelah itu, ibu bergegas menuntunku pulang ke rumah dan ketika sampai di pintu, ibu menghentikanku hingga napasku terengah-engah.

Selanjutnya, ibu mengajakku masuk sementara Rasulullah SAW sedang duduk. Ibu mendudukkanku di pangkuannya sambil berkata: ‘Mereka adalah keluargamu. Semoga Allah memberkahimu karena mereka dan semoga Dia memberkahi mereka karenamu”.

Sayyidah Aisyah adalah pengantin wanita yang manis, tubuhnya langsing, kedua matanya lebar, rambutnya ikal, dan wajahnya bersinar kemerah-merahan. Kini Aisyah telah berpindah ke rumah barunya. Rumah itu hanyalah sebuah kamar di antara beberapa kamar yang dibangun mengelilingi masjid dan terbuat dari bata dan batang kurma.

Di dalam rumah ini, diletakkan satu alas tidur dari kulit kayu. Tidak ada yang membatasi antara alas tidur ini dan tanah selain tikar, dan pada daun pintunya, diberaikan tabir yang terbuat dari serabut.

Orientalis Boudly mengatakan, “Sejak Aisyah menginjakkan kaki di rumah Muhammad SAW, semua merasakan keberadaanya. Jika ada seorang gadis yang mengetahui apa yang sedang dihadapi, ia adalah Aisyah binti Abu Bakar. Aisyah telah membangun kepribadian sejak hari pertama ketika ia memasuki rumah Rasulullah yang mengelilingi masjid itu ….”
Di dalam kamar sederhana itu, di tengah kehidupan rumah tangga Nabi, Sayyidah Aisyah r.a. tumbuh menjadi guru bagi setiap wanita di seluruh dunia dan sepanjang sejarah. Aisyah menjadi istri terbaik yang selalu menghibur suami, memberikan kebahagiaan, dan menghilangkan beban yang beliau alami di luar rumah akibat pergumulan dengan kehidupan dan berdakwah di jalan Allah SWT.

Aisyah menjadi istri yang terbaik, memiliki tangan maupun hati yang mulia. Aisyah mampu bersabar bersama Rasulullah SAW dalam menghadapi kemiskinan dan kelaparan hingga pernah melewati berhari-hari tanpa ada apa di rumah Rasulullah untuk sekedar memasak roti ataupun sesuatu yang bisa dimasak. Mereka berdua hanya hidup dengan makan kurma dan air.

Ketika kaum Muslimin mengalami kehidupan yang makmur, suatu hari Aisyah dihadiahi 1.000 dirham oleh Mu’awiyah. Saat itu Aisyah sedang berpuasa dan tidak memiliki apa pun untuk berbuka. Aisyah pun menerima dirham-dirham itu lalu membagikan seluruhnya kepada para fakir miskin.

Karena itu, budak Aisyah bertanya, “Tidakkah engkau bisa menggunakan 1 dirham saja untuk membeli daging guna berbuka nanti?” Aisyah menjawab, “Andai engkau mengingatkanku (tadi) pastilah aku melakukannya.”

Aisyah tidak pernah tertekan oleh kemiskinan dan tidak pula kegirangan oleh kekayaan. Ia mampu menajaga kehormatan diri hingga dunia menjadi remeh baginya. Aisyah tidak menghiraukan kedatangan maupun kepergian dunia.

Demikianlah, Aisyah r.a. menjadi wanita yang sangat mementingkan waktu untuk mendengar dari Rasulullah hingga ia berhasil menguasai ilmu dan balaghah yang membuatnya layak menjadi guru para laki-laki serta menjadi rujukan bagi mereka dalam bidang hadis, sunnah, dan fikih. Dalam hal ini, az-Zuhri mengatakan, “Andaikan ilmu Aisyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, pastilah ilmu Aisyah lebih tinggi.”

Hisyam ibn ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah bersahabat dengan Aisyah. Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih memahami suatu ayat yang turun, suatu keajaiban, suatu sunnah, atau sebuah syair—tidak pula ada yang lebih kuat dalam meriwayatkannya, atau suatu hari yang berjalan di kalangan Bangsa Arab, nasab, tentang hukum, maupun kedokteran dibandingkan dengan Aisyah.

Selanjutnya, aku bertanya kepadanya: ‘Wahai bibi, dari manakah engkau memahami perihal kedokteran?’ Aisyah menajawab: ‘Aku pernah sakit lalu nabi menjelaskan sesuatu kepadaku kemudian ada orang yang sakit lalu nabi menjelaskan sesuatu kepadanya. Aku mendengar orang saling mengabarkan satu sama lain dan aku mengahafalnya’.”

Demikian dikutip dari Buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah islam , Kisah Perjalanan Hidup Para Wanita Mulia yang Berperan Penting Dalam Kehidupan dan Perjuangan Dakwah Rasulullah SAW, Dr. Bassam Muhammad Hamami, Halaman 45-49. ***