Di antara para istri Rasulullah SAW, ada seorang yang paling dicemburui, ia adalah Sayyidah Shafiyah. Sitti Aisyah dan istri lain Nabi Muhammad SAW lainnya cemburu karena kecantikan bekas tawanan perang tersebut.

Kisahnya pun sangat panjang, bahkan ia sudah menginginkan jadi istri Nabi SAW sebelum dirinya masuk Islam.

Sayyidah Shafiyah bercerita kepada Rasulullah SAW, Ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, pada malam pengantinku dengan Kinanah ibn Rabi’, aku bermimpi melihat purnama jatuh ke pangkuanku. Ketika bangun dari tidur, aku ceritakan mimpiku itu kepada Kinanah. Dengan marah ia berkata: ‘Hal itu terjadi tiada lain karena engkau mengharapkan si raja Hijaz, Muhammad! la pun menampar wajahku dan hingga kini bekas tamparan itu masih ada di wajahku”.

Rasulullah SAW bersabda kepada Shafiyah, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu seorang nabi, dan engkau menjadi istri dari seorang Nabi. Jadi, apa yang bisa dibanggakan di hadapanmu?”

Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai adalah seorang wanita tawanan yang bertakwa, bersih dan suci. Ialah wanita yang memiliki dua mata yang berkaca-kaca, kejernihan yang paling jernih. Nasabnya adalah Shafiyah binti Huyai ibn Akhthab ibn Syu’bah ibn Tsa’labah ibn ‘Ubaid ibn Ka’b ibn Abi Khubaib, keturunan bani Nadhir. Ia adalah anak cucu Lawi ibn Ya’qub dan dari keturunan Harun ibn Imran, saudara Nabi Musa A.S.

Ia adalah Ummul Mukminin yang mulia dan cerdas berasal dari keturunan terhormat dan mulia. Selain itu, ia juga memiliki kecantikan dan agama yang kuat. Sebelum memeluk Islam, Shafiyah pernah menikah dengan Salam ibn Abi Haqîq, kemudian dengan Kinanah ibn Abi al-Haqîq, penguasa Benteng al-Qumush, benteng yang paling megah di Khaibar. Keduanya adalah kesatriadan penyair terbaik dari kaumnya.

Rasulullah SAW telah mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran menentukan guna mengakhiri pemberontakan kaum Yahudi yang terlaknat. Kedengkian yang mereka pendam terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk kejahatan dan pengkhianatan besar.

Pada pertengahan kedua bulan Muharram Tahun 7 H, Rasulullah SAW berangkat bersama segenap pasukan Muslim disertai persenjataan dan perlengkapan perang yang lengkap menuju Khaibar, pusat pemukiman Yahudi yang jahat. Begitu melihat mereka, Rasulullah berseru, “Allah Akbar! Hancurkan Khaibar! Sungguh ketika kami turun di halaman suatu kaum, amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang mendapat peringatan itu!”

Setelah pertempuran berdarah yang terjadi antara iman dan kekufuran itu berlangsung, perang berakhir dengan kemenangan di pihak kebenaran dan Islam yang mengalahkan kebatilan dan kekufuran. Khaibar pun runtuh, benteng-bentengnya berhasil ditempus, para laki-lakinya terbunuh, dan para wanita menjadi sandera. Salah seorang wanita yang menjadi sandera adalah seorang bangsawan Bani Nadhir, Shafiyah binti Huyai ibn Akhthab. Ia adalah kembang para wanita Khaibar yang paling mulia bagi mereka dan saat itu Sayyidah belum genap berusia 17 tahun.

Setelah kaum Muslimin mengepung Khaibar dan semua benteng yang ada di sana, tertawan pula Kinanah ibn Rabi’, suami Shafiyah binti Huyai, yang saat itu menjadi penanggung jawab harta simpanan Bani Nadhir. Akhirnya ia diseret untuk menghadap Rasulullah SAW. Beliau menanyakan kepadanya tentang gudang kekayaan Khaibar itu, tetapi ia tidak mau memberitahukan di mana gudang itu berada. Ia bersikeras mengatakan bahwa dirinya tidak memegang rahasia tentang harta simpanan tersebut.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW pun bersabda, “Jika ternyata kami menemukannya padamu, akankah kami membunuhmu?” Kinanah menjawab, “Ya.” Tatkala Rasulullah menemukan bahwa harta itu memang disimpan di rumahnya, beliau mengirim Kinanah kepada Muhammad ibn Salamah agar dihukum pancung sebagai balasan untuk saudara Muhammad, Mahmud ibn Salamah, yang dibunuh oleh kaum Yahudi dalam perang tersebut.
Para wanita Qumush pun digiring sebagai tawanan. Rombongan itu dipimpin oleh Shafiyah istri Kinanah ditemani oleh seorang saudari sepupunya. Mereka digiring oleh sang muazin Rasulullah, Bilal ibn Rabbah r.a. Bilal membawa para tawanan melewati medan pertempuran yang telah berakhir.

Medan itu dipenuhi oleh mayat orang-orang Yahudi yang terbunuh. Saudari sepupu Shafiyah itu pun menjerit dan histeris melihat pemandangan tersebut. la menutup wajahnya, lalu ia lumurkan debu di kepala sambil menjerit sekeras-sekerasnya, meratapi para laki-laki kabilahnya. Sementara itu, Shafiyah hanya terdiam, tetap tenang, dan tampak bersedih. Namun, ia sama sekali tidak bersuara atau meratap sedikit pun.

Shafiyah dan saudarinya dibawa menghadap Rasulullah SAW. Saat itu ketenangan menyelimuti wajah Shafiyah yang cantik jelita. Sementara itu, rambut saudari sepupunya tampak tidak karuan dan berlumuran debu dengan baju yang tercabik-cabik. Ia tidak henti-hentinya meratap, menjerit, dan menangis di hadapan Rasulullah SAW

Rasulullah tidak mau memandang wanita itu. Bahkan, beliau memerintahkan, “Jauhkan setan wanita ini dari hadapanmu!” Selanjutnya, Rasulullah mendekati Shafiyah dan memandangnya dengan penuh simpati dan belas kasih. Beliau bersabda, “Wahai Bilal, apakah engkau sudah kehilangan belas kasih hingga mengajak kedua wanita ini melewati jasad para laki-laki mereka yang terbunuh?”

Setelah itu, beliau memerintahkan agar Shafiyah digiring ke belakang beliau kemudian beliau melemparkan selendang kepadanya. Itu adalah pertanda bahwa Rasulullah SAW telah memilih Shafiyah untuk diri beliau sendiri. Kaum Muslimin belum mengetahui apakah Rasulullah hendak menikahi Shafiyah ataukah menjadikannya sebagai budak. Namun, setelah beliau memakaikan hijab kepada Shafiyah, mereka pun tahu bahwa beliau telah menikahinya.

Dalam suatu hadits dari Anas disebutkan bahwa saat membawa Shafiyah binti Huyai, Rasulullah SAW bertanya kepadanya: “Apakah engkau mau menikah denganku?” Shafiyah menjawab, “Wahai Rasulullah, ketika masih menjadi musyrik pun aku telah mengharapkan hal itu, apalagi jika Allah memberiku kesempatan untuk itu dalam Islam.”

Rasulullah SAW pun menunggu Shafiyah sampai suci dari haid. Setelah suci, beliau memerdekakan dan menikahinya. Kemerdekaannya itulah yang menjadi mas kawin bagi Shafiyah.

Setelah Rasulullah menikahi Shafiyah, beliau menunggu di Khaibar hingga Shafiyah menjadi tenang. Setelah itu, beliau memboncengkan Shafiyah menuju sebuah rumah di ujung Khaibar yang jaraknya kurang lebih 6 mil dari Khaibar. Rasulullah bermaksud menjadikan Shafiyah sebagai pengantin, tetapi Shafiyah menolak dan tidak mau jika Rasulullah melakukannya.

Penolakan dan keengganan Shafiyah memberatkan Rasulullah. Setelah itu, beliau kembali untuk menyiapkan pasukan dan segera kembali ke sumber cahaya di Madinah al-Munawwarah. Dalam perjalanan itu beliau melewati daerah Shahba. Selanjutnya, beliau perintahkan pasukan agar berhenti dan turun untuk sekadar istirahat di tempat tersebut. Saat itulah, beliau melihat Shafiyah tampak sudah siap menjadi pengantin.

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Ummu Sulaim binti Malhan atau Ummu Anas bin Malik 47 mendatangi Shafiyah lalu menyisir rambutnya, merias, dan memakaikan wewangian. Shafiyah pun muncul sebagai seorang pengantin yang cantik dan menawan hingga memesona seluruh mata yang memandang. Bahkan, Ummu Sinan al-Aslamiyah mengatakan bahwa dirinya tidak pernah melihat wanita yang lebih cerah daripada Shafiyah.

Madinah al-Munawwarah begitu bersinar oleh sukacita atas pernikahan Rasulullah SAW. Terselenggaralah walimatul ‘ursy (perjamuan makan dalam resepsi pernikahan) yang sangat ramai. Semua orang menikmati suguhan Khaibar yang lezat hingga kenyang. Setelah itu, Rasulullah SAW menemui Shafiyah dengan hati yang masih menyisakan sedikit duka dan tekanan atas penolakan Shafiyah sebelumnya untuk menjadi pengantin beliau.

Shafiyah binti Huyai, sang pengantin yang cantik itu, menyambut Rasulullah dengan wajah berseri. Shafiyah berbicara dan menceritakan bahwa pada malam pengantinnya dengan Kinanah ibn Rabi’, ia bermimpi melihat rembulan jatuh di pangkuannya. Ketika bangun dari tidurnya, Shafiyah men ceritakan mimpi itu kepada Kinanah. Dengan marah, Kinanah menyahut, “Ini tidak lain karena engkau mengharapkan si raja Hijaz, Muhammad.” Selanjutnya, Kinanah menampar wajah Shafiyah dengan keras hingga tamparannya itu masih membekas pada wajahnya.

Rasulullah mendengar cerita Shafiyah itu dengan senang dan dipenuhi pandangan yang penuh simpati disertai belas kasih. Beliau sangat bahagia mendengar cerita Shafiyah dan hendak mendekat kepada Shafiyah, tetapi langkahnya tertahan lalu bertanya, “Mengapa sebelumnya engkau menolak?” Shafiyah, wanita mukmin sejati dan cantik itu menjawab, “Aku mengkhawatirkan engkau jika dekat dengan kaum Yahudi.” Isi Wajah Rasulullah segera berbinar dengan senyum yang mulia lalu mendekati Shafiyah dengan hati yang ridha.

Di luar tenda, yang di dalamnya Rasulullah sedang berdua bersama Shafiyah, salah seorang kecintaan Rasulullah SAW, seorang laki-laki dari Anshar yang bernama Abu Ayyub Khalid ibn Zaid berjaga sepanjang malam demi kenyamanan Rasulullah. Pedangnya tidak pernah lepas dari tangan.

Ia menjaga tenda Rasulullah tanpa sepengetahuan beliau. Ketika pagi merekah, Rasulullah mendengar ada suara gerakan di depan tenda. Beliau pun keluar untuk memeriksa,dan ternyata Abu Ayyub berada di luar sana.

Beliau bersabda, “Ada apa denganmu, wahai Abu Ayyub?” Abu Ayyub menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengkhawatirkan dirimu terhadap wanita ini karena ia telah membunuh ayah, suami, dan kaumnya sendiri. Ia adalah wanita yang masih dekat dengan kekufuran hingga aku mengkhawatirkanmu darinya.”

Rasulullah SAW kemudian berdoa, “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Ayyub.” Beliau juga berdoa, “Ya Allah, lindunginlah Abu Ayyub sebagaimana ia telah begadang demi menjagaku!”

Rasulullah SAW teringat akan kisah Zainab binti Harits yang menghadiahkan seekor kambing beracun kepada beliau. Ia suguhkan kambing itu kepada beliau yang saat itu sedang bersama seorang sahabat, Bisyr ibn Barra. Ketika itu ia memakan sedikit daging kambing itu dan mati saat itu juga.

Rasulullah dan para sahabat sudah tiba di Madinah al-Munawwarah. Dalam sebuah hadis, Anas r.a. menceritakan, “Aku melihat unta yang berhenti kemudian Shafiyah turun dan Rasulullah bangkit untuk menghijabnya. Para wanita muslimah melihat hal itu lalu mereka berdoa: ‘Semoga Allah menjauhkan wanita Yahudi itu!’ Rasulullah SAW tidak membawa sang pengantin baru menemui para istri beliau. Para pelayan pun keluar untuk melihat Shafiyah dan mengumpatnya.”

Rasulullah membawa Shafiyah tinggal di rumah seorang sahabat, Faritsah ibn an-Nu’man. Para wanita Anshar mulai berkumpul di sekitar kediaman Haritsah untuk melihat kecantikan Shafiyah dan di antara mereka yang keluar itu adalah Aisyah.

Rasulullah melihat Aisyah dan menunggunya sampai keluar. Ketika bertemu dengan Aisyah, beliau memegang bajunya dan berbicara dengan bergurau. Sambil tersenyum, beliau bertanya, “Apa yang engkau lihat wahai wanita berambut pirang?” Aisyah r.a. menjawab, “Aku melihat seorang wanita Yahudi.” Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah engkau berkata demikian karena Shafiyah telah masuk Islam dan menjadi muslimah yang baik.”

Aisyah kembali pulang. Ia tinggalkan Shafiyah lalu menemui para istri Rasulullah lainnya. Aisyah berjalan dengan penuh kecemburuan dan kejengkelan. Pasalnya, ia pun mengakui akan kecantikan dan keelokan Shafiyah di hadapan para istri yang lain.

Sayyidah Shafiyah binti Huyai telah berpindah ke rumah Rasulullah untuk mengambil tempat di antara para istri Rasulullah lainnya. Sabar dan diam menjadi ciri khas bagi Shafiyah r.a. karena Allah telah memberinya kemuliaan dengan hidup di bawah naungan suami yang paling mulia. Terlebih ketika ia mendengar sindiran Aisyah dan Hafshah yang mengatakan dengan suara keras bahwa dirinya adalah seorang wanita berdarah Yahudi yang di dalam urat nadinya mengalir darah Yahudi.

Para istri Rasulullah itu pun membanggakan diri di hadapan Shafiyah karena mereka adalah para wanita Quraisy atau orang Arab, sedangkan Shafiyah adalah wanita Yahudi non-Arab yang memasuki rumah mereka.

Suatu hari Shafiyah merasa tertekan atas hal yang ia dengar. Ia pun duduk sambil menangis tersedu-sedu lalu Rasulullah SAW menanyakan apa sebabnya ia menangis. Shafiyah menceritakan tentang hal yang dikatakan terhadap dirinya. Karena itu, Rasulullah pun bersabda, “Katakanlah kepada mereka: ‘Bagaimana kalian bisa lebih baik daripada aku sementara suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun, dan pamanku adalah Musa’.”

Kata-kata Rasulullah ini menjadi penyejuk bagi Shafiyah. Kata-kata yang mampu menghilangkan rasa tersiksa dan semakin memupuk kesabarannya.

Sayyidah Shafiyah menyaksikan wafatnya Rasulullah SAW karena ia merupakan salah seorang Ummahatul Mukminin yang berkerumun di sekeliling alas tidur Rasulullah saat beliau sakit. Shafiyah berbicara kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, demi Allah aku ingin jika apa yang engkau alami ini menimpa diriku.”

Para istri Rasulullah yang lain hanya memejamkan mata. Tidak ada yang membuat mereka bergetar selain sabda beliau : “Bertobatlah!” Mereka pun menjawab, “Dari apa, wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Dari perbuatan kalian yang meremehkan Shafiyah. Demi Allah, ia telah berkata jujur.”

Setelah Rasulullah wafat, Shafiyah duduk untuk beribadah dan memahami situasi, ia berusaha ikut andil dalam membangun masyarakat Islam sementara berbagai provokasi tetap menghadangnya dari segala arah. Kecemburuan masih menghantui hati para wanita terhadap dirinya. (Sumber: muslim.okezone.com)